Ferdy Sambo
JAKARTA, jurnal9.com – Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengungkapkan bahwa pemberian vonis hukuman mati pada Ferdy Sambo sudah sesuai dengan fakta-fakta hukum yang ada.
Tetapi dikhawatirkan hukuman mati Ferdy Sambo bisa berubah kalau mengikuti ketentuan hukum di KUHP yang baru.
Vonis hukuman mati Ferdy Sambo, menurut dia, memang belum final. Belum berkekuatan hukum tetap (inkrah). Penerapannya bisa sangat dipengaruhi ketentuan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru atau KUHP Nasional.
“Sebab dalam Pasal 100 KUHP yang baru menekankan pada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun,” ungkapnya.
Namun Wayan meyakini masa percobaan 10 tahun itu sangat sulit karena banyak syarat yang harus ditempuh Ferdy Sambo, sehingga bisa mengubah vonis mati yang dijatuhkan terhadap dirinya.
Dia menjelaskan dalam masa percobaan 10 tahun itu harus mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri serta peran terdakwa dalam tindak pidana.
Kalau terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati bisa diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden, setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung.
Dalam KUHP yang baru disebutkan masa percobaan 10 tahun, dimulai satu hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah.
“Dalam KUHP yang baru, hakim bisa menjatuhkan pidana mati dengan penekanan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan:
- Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;
a. peran terdakwa dalam Tindak Pidana; atau
b. ada alasan yang meringankan
Pasal 100 KUHP
Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan KUHP yang baru, Albert Aries menyebutkan vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo belum final. Dan Ferdy Sambo masih bisa mengajukan upaya hukum banding dan kasasi.
Albert menekankan bahwa KUHP terbaru ini baru berlaku tiga tahun setelah aturan tersebut disahkan oleh negara, yaitu pada awal 2026.
“Kalau terpidana mati, yang perkaranya berkekuatan hukum tetap atau inkrah, tetapi belum dieksekusi sebelum berlakunya KUHP baru berlaku pada awal Januari 2026, maka berlaku ketentuan pasal 3 KUHP Nasional (lex favor reo).
Pasal 3 KUHP menyebutkan dalam hal terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, diberlakukan peraturan yang baru, kecuali peraturan yang lama ‘menguntungkan’ bagi pelaku.
Menurut Albert, hal ini didasarkan pada paradigma pidana mati dalam KUHP yang baru atau KUHP Nasional sebagai pidana yang bersifat khusus; ada ancaman secara alternatif (pasal 67 KUHP Nasional) untuk menjadi jalan tengah bagi kelompok yang pro dan kontra terhadap pidana mati.
“Karena itu terpidana mati yang belum dieksekusi saat berlakunya KUHP Nasional, maka akan berlaku ketentuan ‘transisi’ yang nanti akan diatur dalam Peraturan Pemerintah untuk menghitung ‘masa tunggu’ yang sudah dijalani dan asesmen yang dibuat acuan untuk menilai adanya perubahan sikap dan perbuatan terpuji dari terpidana mati tersebut,” jelas Albert dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/2/2023).
“Adanya ketentuan ini, jangan atau tidak boleh dimaknai bahwa dengan berlakunya KUHP Nasional akan membuat pelaksanaan pidana mati menjadi dihapus,” lanjut dia.
“Sebab segala sesuatunya tetap akan dinilai secara objektif melalui asesmen yang diatur dalam Peraturan Pemerintah,” ia menegaskan.
Selain itu, ada kemungkinan terbukanya peluang bagi terpidana mati untuk mengajukan grasi kepada presiden saat KUHP Nasional berlaku nanti.
“Ya…kalau permohonan grasi terpidana mati itu ditolak, dan pelaksanaan eksekusinya belum juga dilaksanakan dalam waktu 10 tahun, maka dengan keputusan presiden, pidana mati tersebut dapat menjadi seumur hidup (pasal 101),” ungkap Albert.
Sementara itu Wakil Menteri Hukum dan Ham Edward Omar Sharif Hiariej pun menekankan KUHP baru akan mulai diberlakukan 3 tahun usai disahkan, yaitu pada 2 Januari 2026 mendatang.
“Artinya, vonis Sambo ini dijatuhkan berdasarkan pasal 10 KUHP lama yang memang masih berlaku,” ujarnya.
Kejaksaan Agung (Kejagung) sendiri tak berandai-andai untuk eksekusi hukuman mati Ferdy Sambo bisa berubah.
“Proses eksekusi Ferdy Sambo masih panjang, dan harus menunggu keputusan Pengadilan Tinggi. Sebab pihak Ferdy Sambo mengajukan banding,” jelas Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, kepada wartawan, Jumat (17/2/2023).
“Sekarang ini kan putusan masih di Pengadilan Negeri. Tentu kami harus menunggu proses yang masih panjang. Ferdy Sambo punya waktu 7 hari untuk menyatakan sikap, dan 14 hari untuk mengajukan memori, kalau menyatakan banding,” tegasnya.
Seperti diberitakan bahwa Ferdy Sambo mengajukan banding atas putusan hukuman mati yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terhadap dirinya dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua.
Hal itu dibenarkan Pejabat Humas PN Jaksel, Djuyamto menyampaikan sesuai data di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), memang benar pihak Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal menyatakan banding terhadap putusan hakim.
“Para terdakwa pembunuhan berencana Josua yaitu FS, PC, KM, dan RR telah menyatakan banding atas putusan yang dibacakan majelis hakim,” ujar Djuyamto dalam keterangannya, Kamis (16/2/2023).
Atas upaya banding tersebut, Ketut mengatakan bahwa pihaknya siap kapan saja untuk melawan. “Dari awal saya bilang bahwa Kejaksaan Agung siap kapan saja,” ungkap Ketut.
RAFIKI ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA