Presiden Joko Widodo yang selalu menyempatkan waktunya untuk membaca informasi di media sosial lewat handphone (HP) setiap pagi, sebelum berangkat ke Istana Negara.
JAKARTA, jurnal9.com – Beredar di masyarakat, selebaran draft Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sedang disosialisasikan Kemenkumham ke beberapa daerah.
Dalam draft RUU KUHP ini mendapat sorotan karena banyak pasal yang bertujuan untuk membungkam kritik masyarakat kepada presiden, wakil presiden dan lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
Seperti dalam draft RUU KUHP pada Pasal 217 menyebutkan: “Setiap Orang yang menyerang Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.”
Kemudian Pasal 218 Ayat (1) berbunyi: “Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Namun aturan di atas menjadi gugur apabila hal di atas untuk membela diri. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 218 ayat (2) berbunyi:
“Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Selanjutnya, pada Pasal 219 : Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 220 (1): “Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. penghinaan terhadap martabat presiden/wapres dikenakan ancaman maksimal 3,5 tahun penjara.
Apabila penghinaan itu dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya diperberat menjadi 4,5 tahun penjara.
Kutipan darft tersebut mendapat sorotan masyarakat. Sebab disebut pasal bermasalah. Di antaranya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, serta pasal penghinaan lembaga negara dan kekuasaan umum. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masuk dalam klasifikasi itu.
Pemidanaan kekuasaan umum dan lembaga negara
Sementara itu, terkait pidana terhadap penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara diatur pada BAB IX TINDAK PIDANA TERHADAP KEKUASAAN UMUM DAN LEMBAGA NEGARA. Adapun pasal-pasal substansial yang dianggap bermasalah adalah Pasal 353 dan 354.
Pasal 353 (1): Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyakkategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Sementara itu, dalam Pasal 354 tertulis: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Kritik antikritik
Staf ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan menjelaskan pasal-pasal pemidanaan penghina presiden itu ditujukan untuk menjaga kehormatan kepala negara, sebagai kepala pemerintahan. Wibawa presiden maupun wapresnya patut dijaga.
“Karena isi RUU KUHP ini untuk menjaga wibawa kehormatan presiden sebagai kepala negara, menjaga kehormatan negara untuk Presiden NKRI [Negara Kesatuan Republik Indonesia … Bukan presiden hari ini, Pak Jokowi [Joko Widodo], tapi selamanya,” ungkapnya.
“Presiden memang harus kita hormati. Bagaimana ceritanya kepala negara kita, dengan seenaknya difitnah di media sosial yang diketahui publik … Kehormatan bangsa kita ini di mana letaknya. Warga negara lain nanti melihat, kenapa kok presidennya selalu begini,” kata Ade Irfan yang membelanya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut, “Ini aneh banget sih.”
Menurut Asfinawati, pasal-pasal di atas adalah cerminan dari sikap antikritik para penguasa, baik pemerintah ataupun DPR. Asfinawati mengingatkan bahwa sikap itu tak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Ini menunjukkan DPR dan pemerintah antikritik dan tidak sesuai dengan UUD 1945. Padahal suara publik itu adalah kritik. Lalu lembaga publik kalau nggak boleh dikritik artinya bukan demokrasi lagi.”
Hak kebebasan berpendapat setiap orang terancam tercekik. Tak ada tawaran masuk akal lain demi menjaga pelaksanaan amanat UUD dan merawat demokrasi kecuali menghapus pasal-pasal tersebut.
ARIEF RAHMAN MEDIA