KH Bahauddin Nursalim yang akrab dipanggil Gus Baha
NEWS ANALYSIS
JAKARTA, jurnal9.com – Membaca rilis dari Kementerian Kominfo, saya tercengang saat menyimak data yang menyebutkan ada 203 isu hoaks terkait pemilu. Temuan ini tersebar di 2.882 konten di media sosial (medsos). Dan ini terjadi pada masa kampanye saja.
Saya membaca hasil identifikasi isu hoaks dari platform digital ini sungguh miris. Karena isu hoaks ini banyak disebarkan lewat pesan WhatsApp (WA). Jadi siapa pun pengguna handphone bisa menerima informasi isu hoaks tersebut.
Karena saat menerima pesan WhatsApp (WA) berupa informasi atau tayangan video dari media sosial (medsos), mereka tanpa mengecek dulu. Tidak mencari tahu kebenarannya. Malah informasi tersebut langsung di-sharing ke grup WA teman lainnya lagi. Padahal informasi atau tayangan video yang diterimanya itu isu hoaks. Sangat provokatif. Tapi mereka yang masih awam, percaya dengan informasi tersebut.
Dari temuan Kementerian Kominfo ini, paling banyak hasil video editan. Diambil dari tayangan televisi, kemudian videonya diedit sedemkian rupa; narasinya dipotong, tampilan teksnya bisa mirip seperti di tayangan televisi aslinya. Semua informasi dan datanya diputarbalikkan tidak sesuai fakta.
Saya bilang sangat provokatif karena terjadi pemutarbalikkan fakta yang sebenarnya. Di sini terjadi proses pembodohan. Masyarakat digiring untuk dipengaruhi pola pikirnya. Mempercayai dari sesuatu [berita] yang benar dan baik, diubah menjadi sesuatu [berita] yang buruk..
Saya jadi miris membacanya. Karena ada proses pembodohan dalam masyarakat. Dan pembohongan pada publik. Saya sebagai wartawan tak bisa melawan derasnya arus informasi hoaks di medsos yang makin merajai ruang dunia maya.
Ingat pesan guru saya, (alm) KH Ma’sum Ahmad [Allahumaghfirlahu], ketika mengetahui saya jadi wartawan. Beliau kaget saat melihat saya menenteng kamera. Saya memang sedang ta’ziah ke kediaman KH Mochammad Nadjib yang berpulang ke rahmatullah, pada Oktober 1987. Saya sambil meliput di pesantren Jombang, lalu bertemu dengan guru saya, dalam keadaan tidak sengaja.
Waktu itu saya yang mondar-mandir nenteng kamera. Maklum masih wartawan yunior. Jadi masih senang tampil untuk menunjukkan diri. Dan saya tidak menyadari kalau guru saya juga sedang takziah. Akhirnya saya mendengar ada yang memanggil saya. Ketika saya menoleh ke arah suara itu, saya melihat Gus Anas [adik KH Ma’sum Ahmad] yang memanggil saya. Lalu saya menghampirinya. Saya kaget melihat di sebelahnya ada guru saya, kiai Ma’sum Ahmad. Saya langsung sungkem ke guru saya. Duduk sambil kepala menunduk, saya mencium tangannya
Sambil beliau memegang kepala saya, beliau bertanya, “Lho.. dadi opo iki, kok gowo kamera ngene (lho.. jadi apa kok bawa kamera segala).”
Saya malu menjawabnya. Saya diam. Tak langsung menjawab. Begitu menanyakan kembali dengan pertanyaan yang sama. Lalu saya menjawab dengan hati-hati. “Inggih yai, kulo astone dados wartawan (iya kiai, saya bekerja jadi wartawan.”
“Lho… kok iso, awakmu dadi wartawan, wong bien nang pondok yo ga tahu ngaji (lho… kok bisa, kamu jadi wartawan, padahal dulu waktu di pesantren ga pernah ngaji),” ujarnya.
Maksud guru saya, ngomong begitu, karena saya tergolong santri yang tidak pintar. Tapi kok bisa jadi wartawan. Kira-kira begitu.
“Inggih barokahe pun yai (Iya karena barokahnya kiai),” jawab saya agak malu-malu.
Karena barokah guru itu, kata guru-guru yang mengajar saya semasa di ibtidaiyah dulu, bisa membawa kebaikan pada kehidupan seseorang. Guru saya menyebut, kepercayan itu bersumber dari referensi Imam Ghazali.
Mendengar jawaban guru saya ini, saya agak malu. Karena di sebelah kanan kirinya banyak kiai yang ikut mendengar obrolan kami.
“Inggih yai, duko kulo boten ngertos. Wekdal lulus MAN (Madrasah Aliyah Negeri) 1982, kulo tesih dereng ngertos nopo niku wartawan. (Iya kiai, saya tidak tahu. Waktu lulus MAN, saya masih belum mengerti apa itu wartawan),” jawab saya.
“Yok opo ceritane, ga ngerti opo iku wartawan, tapi kok iso dadi wartawan (Gimana ceritanya, ga mengerti apa itu wartawan, tapi kok bisa jadi wartawan?),” tanyanya lagi.
“Sajanepun wekdal lulus MAN niko, kulo boten wonten niat bade kuliah. Keranten boten wonten biaya. Ceritane meniko, kulo pas melampah ten pasar loak Kapasari, wonten tiang nyukani selebaran, ingkang isi nepun: wonten kampus AWS menawaraken biaya kuliah sing kejangkau. Lan saget dicicil biayane pun (sebenarnya waktu lulus MAN itu, saya ga ada niat mau melanjutkan kuliah. Karena ga ada biaya. Ceritanya waktu pas jalan ke pasar loak Kapasari [Surabaya], ada orang yang memberikan selebaran. Isinya ada kampus AWS menawarkan biaya kuliah yang terjangkau. Dan biayanya bisa dicicil),” tutur saya bercerita.
“Akhire pun kulo kuliah ten Akademi Wartawan Surabaya niki 1982/1983. Teseh nembeh semester pertama, kulo termasuk mahasiswa pertama nopo kedua ngoten, ingkang tercatet sebagai mahasiswa [saking 78 mahasiswa/mahasiswi] ingkang saget menulis berita. Inggih sejak meniko [1983] kulo langsung dados wartawan ten RRI regional 1 suroboyo (Akhirnya saya kuliah di AWS ini 1982/1983. Saat baru semester pertama, saya termasuk mahasiswa pertama apa kedua yang tercatat sebagai mahasiswa di kelas saya [dari 78 mahasiswa/mahasiswi] yang bisa menulis berita. Iya sejak itu [1983] saya langsung jadi wartawan di RRI regional 1 Surabaya),” lanjut saya.
Guru saya ini langsung memberikan amanah. “Iyo wes awakmu dadi wartawan iku kudu amanah. Ojok sampe nyebarno berita sing goro. Duso nek awakmu nulis berita sing goro (Iya sudah. Kamu jadi wartawan itu harus memegang amanah. Jangan sampai menyebarkan berita yang bohong. Berdosa kalau kamu menulis berita bohong),” pesan kiai saya.
Dalam pertarungan hidup jadi wartawan, beliaulah: guru yang menyelamatkan hidup saya. Karena sebelum saya jadi anak didik santrinya, dulu sewaktu SD, saya menjadi anak jalanan. Meski ada rumah, tapi waktu kecil saya, kerap mendapat perlakukan kekerasan dari orang tua. Sehingga saya takut pulang ke rumah. Iya saya baru sadar setelah beranjak dewasa, besar di pesantren, kalau orang tua saya blater [preman].
Setelah jadi wartawan. Saya merasakan kalau saya seperti mesin diesel. Terlambat panasnya. Begitu mesin dalam diri saya sudah panas. Saya seperti tak mau berhenti belajar. Jadi selama saya jadi wartawan, saya sering ikut mengaji di pesantren-pesantren. Jadi santri kilat.
Jadi amanah guru saya terus dijalankan. Saya harus banyak memahami tuntutan hidup dalam ajaran agama. Seperti ayat alquran surat Al-hujurat :12 ini betul-betul saya hayati. “Hai orang-orang yang beriman, jika ada seorang fasiq datang membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (diteliti dulu) agar kalian jangan sampai menimpakan suatu bahaya kepada kaum yang lain karena kebodohannya. Kalian akan menyesal dengan perbuatanmu.”
Berdasarkan ayat ini, maka siapa pun yang menerima informasi dari medsos wajib melakukan tabayyun (dikroscek) ke nara sumbernya. Apakah betul berita itu sesuai fakta atau kejadiannya. Kalau anda tidak melakukan tabayyun, dan ternyata itu isu hoaks, maka anda yang menyebarkan informasi tersebut, ikut menanggung dosanya. Karena kebohongan itu disebarkan secara meluas. Dan terus-menerus dibaca banyak orang lewat pesan WhatApps secara berantai. Bisa-bisa ini jadi dosa jariah.
Saya pun sebagai wartawan selalu kroscek ke nara sumber. Setiap kali mendapat rilis atau meski wawancara langsung. Ini sudah menjadi amanah yang harus saya pegang teguh. Sesuai pesan dari guru saya: jalani pekerjaan wartawan itu dengan amanah. Tak boleh saya menulis berita itu ada unsur bohongnya
Memang dalam Kode Etik Jurnalistik, Pasal 3 juga diatur: “Wartawan Indonesia harus selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan praduga tak bersalah.”
Kemudian yang jadi amanah saya lagi, saya juga harus menerapkan ayat dalam surat An-Nur : 11 ini: “Hai orang-orang yang beriman, hindarilah perbuatan buruk sangka, karena perbuatan itu bagian dari dosa. Dan jangan mencari-cari keburukan orang lain. Jangan menggunjingkan [menyebarkan isu] satu sama lain.”
Jadi, kalau tidak mengetahui secara pasti [dari isu yang diterimanya] apalagi tidak melihatnya sendiri, Allah mengingatkan lewat surat Al-Isra ayat 36 ini: “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu [sebenarnya] tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Ayat di atas ini dijelaskan KH Bahauddin Nursalim atau dikenal dengan panggilan Gus Baha saat menerima kunjungan Tim Operasi Nusantara Cooling System (Ops NCS) Polri, yang dipimpin Brigjen Pol Gatot Repli Handoko ke kediamannya, di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran, Rembang, Jawa Tengah, Rabu (21/2/2024) lalu.
Gus Baha menyinggung masyarakat yang berbeda pilihan, tak usah lagi membuat suasana terus memanas. “Pemilunya sudah selesai. Dalam satu kompetisi itu pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Jangan karena jagoannya kalah, kelompok [masyarakat] yang kalah nggak terima, terus bertengkar dengan saudara dan bangsanya sendiri. Dan sampai kapan? Kan pemilunya sudah selesai. Jadi pesan saya, pihak yang kalah iya harus legowo,” tuturnya.
“Masyarakat jangan mengikuti arus isu yang hoaks. Wartawan mestinya ikut mendinginkan suasana dengan berita-berita yang mendamaikan. Pemilunya kan sudah selesai,” ucap Gus Baha.
Kalau saya amati sampai sekarang ini, para pemilih yang jagonya kalah, pikiran dan perasaannya masih emosional. Ini tergantung pada capres-cawapres yang kalah juga. Kalau mau menunjukkan sikap ksatria pada konstituennya, saya yakin para pemilihnya akan mengikuti. Tapi kalau capres-cawapres yang kalah masih berkoar-koar. Tentu saja mereka juga akan ikut tersulut hatinya; marah dan kesal.
Dari pernyataan dan sikap capres-cawapres idolanya itu membuat terus berkembang berita-berita yang dimanipulasi di medsos. Angka-angka hasil real count: pemungutan suara pilpres pun dimunculkan hasil versi yang berbeda. Mereka mengunggah postingan video dengan menampilkan angka hasil penghitungan yang kalah berubah jadi unggul. Itu yang memicu terus memunculkan isu-isu hoaks yang tak kunjung usai.
Apalagi kalau saya memuat berita paslon no urut 2 terus memimpin perolehan suara pilpres. Langsung dari pihak pemilih yang kalah masih saja protes dengan mengirim DM. Saya dianggap terlalu memihak. Padahal saya menulis berita itu mau memberikan informasi terkini dari hasil real count KPU. Itu kan saya menulis berdasarkan fakta dan obyektif. Bukan dari pandangan subyektifitas saya.
Contoh ketika saya menulis berita “Kenapa Media Asing Unggulkan Prabowo Menang Pilpres 2024?” Saya dikritik habis-habisan oleh banyak pembaca. Karena Prabowo masih dianggap punya catatan hitam kasus HAM. Penculikan peristiwa Mei 1998. Kenapa dalam tulisan saya kok masih mendukung dengan mengunggulkan di Pilpres 2024?.
Lalu saya dapat DM dari pembaca. “Lho.. kok berita anda lebih memihak paslon capres-cawapres nomor urut 2? Anda mengunggulkan paslon no urut 2 berdasarkan hasil survei. Kan itu hasil survei pesanan. Mereka [sejumlah lembaga survei] itu dibayar,” tulis seorang pembaca yang protes.
Memang benar, selama dua minggu sampai menjelang pemungutan suara, berita yang saya tulis selalu memenangkan Prabowo. Padahal saya mengangkat berita itu obyektif. Tidak ada kepentingan apa pun. Dari dulu, saya selalu netral. Saya mengangkat angle isu ini karena dasarnya menarik aja. Bukan bermaksud memihak.
Alasan saya sangat masuk akal. Karena referensi data survei yang saya gunakan diambil dari lembaga survei asing. Saya percaya data hasil survei lembaga survei asing itu lebih obyektif. Tidak mungkin saya manipulasi capres-cawapres yang kalah itu untuk dimenangkan dalam tulisan saya.
ARIEF RAHMAN MEDIA