JAKARTA, jurnal9.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) , 5 Oktober 2020, mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Meski pembahasannya mendapat kecaman publik. Apalagi pengesahannya dilakukan pada saat Indonesia masih menghadapi tekanan pandemi.
“Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) sangat mengecam fraksi-fraksi di DPR yang mendukung pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja secara diam-diam dan tidak transparan. Tujuh fraksi tersebut, yakni PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP dan PAN. Hanya fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak mengesahkan,” kata Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia, dalam keterangan tertulisnya Rabu (7/10).
Undang-Undang sapujagat ini telah mengubah sejumlah UU sekaligus. Semula mencakup 79 undang-undang, belakangan ada yang dikeluarkan dari pembahasan. Namun ada juga yang dimasukkan lagi menjelang akhir disahkannya.
Undang-undang yang berhubungan dengan jurnalis dan media, lanjutnya, ada yang diubah yakni UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, dan UU ketenagakerjaan. UU Pers kemudian dikeluarkan dari pembahasan.
“Kecaman publik terhadap Omnibus Law ini adalah pada soal prosedur pembahasan yang cenderung mengabaikan aspirasi masyarakat yang terdampak langsung dari regulasi ini,” ungkapnya.
Apalagi, kata Abdul Manan, Indonesia dilanda pandemi, yang sebagian wilayah masih diberlakukan pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran virus, justru pemerintah dan DPR tetap melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini.
“Ada tekanan kuat agar pembahasan RUU Omnibus Law ini dihentikan. Negara supaya lebih fokus pada penanganan Covid-19 dan dapat mengurangi kegaduhan publik. Namun aspirasi itu tak didengarkan pemerintah dan DPR,” tegasnya.
Selain dari aspek prosedur pembahasan, lanjut dia, penolakan publik pada substansi Omnibus Law tersebut dinilai sangat merugikan buruh dan kepentingan negara dalan jangka panjang.
“Pemerintah merevisi cukup banyak pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lebih cenderung memberikan kemudahan kepada pengusaha. Tapi merugikan pekerja. UU baru ini melonggarkan kebijakan untuk mendorong investasi, namun memiliki implikasi membahayakan lingkungan dalam jangka panjang,” tutur Abdul Manan.
Karena itu, tegas dia, sikap Aji Indonesia mengecam pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja yang dilakukan secara tergesa-gesa, tidak transparan dan mengabaikan aspirasi masyarakat. “Herannya pemerintah dan DPR ngotot tetap melakukan pembahasan pada saat negara ini menghadapi pandemi. Saat UU ini disahkan, kasus terinfeksi virus corona sudah lebih dari 311.000 orang dan lebih dari 11.000 orang meninggal,” ungkapnya.
Sikap ngotot pemerintah dan DPR ini, diakui Abdul Manan, menimbulkan pertanyaan ada motif apa sebenarnya dari tergesa-gesanya pembuatan Omnibus Law Cipta Kerja.
Dalam sejumlah pasal tentang pengupahan, ketentuan PHK, ketentuan libur dan pekerja kontrak. Ketua Umum AJI Indonesia ini menilai Omnibus Law membolehkan PHK dengan alasan efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 melarang PHK dengan alasan efisiensi.
Omnibus Law, kata dia, juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perizinan penyiaran dihilangkan.
Dihapusnya pasal tersebut dapat menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran, yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.
Ketentuan penting lain yang diubah dalam Omnibus Law, kata wartawan yang tergabung AJI ini, adalah diberikannya wewenang migrasi digital sepenuhnya kepada pemerintah. Padahal migrasi digital bukan hanya semata alih teknologi, tetapi juga perubahan tata kelola penyiaran yang selayaknya diatur negara pada tingkat UU, bukan di Peraturan Pemerintah.
*) ARIEF RAHMAN MEDIA