Jurnal9.com
Headline News

Jejak Kasus Buron Djoko Tjandra Setelah 11 Tahun Kabur, Akhirnya Ditangkap

Djoko Tjandra setelah ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (30/7/2020).

Dalam proses hukumnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan membebaskan Djoko Tjandra pada 28 Agustus 2000. Namun kemudian pada tingkat kasasi, MA menganggap putusan itu salah.

JAKARTA, jurnal9.com – Usai sudah pelarian panjang Djoko Tjandra, setelah 11 tahun kabur meninggalkan Indonesia. Dia kabur karena kasus pengalihan hak tagih (cessie) antara perusahaan miliknya, PT Era Giat Prima (EGP) dengan Bank Bali pada Januari 1999.

Kasus yang membelitnya itu berawal saat Djoko Tjandra  membuat perjanjian yang ditujukan untuk mencairkan piutang Bank Bali pada tiga bank (Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Bira) senilai Rp3 triliun.

Namun yang bisa dicairkan oleh EGP,  setelah diverifikasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya sebesar Rp904 miliar dari nilai transaksi Rp1,27 triliun (di BDNI). Pencairan piutang itu, juga melibatkan BPPN yang meminta Bank Indonesia melakukan pembayaran dana tersebut.

Kasus ini mencuat setelah muncul dugaan praktik suap dan korupsi dalam proses pencairan piutang tersebut. Pada saat itu, Pande Lubis adalah Wakil Ketua BPPN, Syahril Sabirin menjabat Gubernur Bank Indonesia, dan Djoko Tjandra adalah pemilik EGP.

Dalam proses hukumnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan membebaskan Djoko Tjandra pada 28 Agustus 2000. Majelis Hakim PN Jakarta Selatan  menyatakan uang sebesar Rp546,46 miliar itu telah dikembalikan kepada perusahaan milik Djoko Tjandra,  PT EGP, sedangkan uang sebesar Rp28,75 juta dikembalikan kepada Djoko Tjandra sebagai milik pribadi.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Antasari Azhar sempat mengajukan kasasi, meskipun akhirnya ditolak oleh Mahkamah Agung.

Tersangka kedua, Pande Lubis juga dibebaskan majelis hakim PN Jakarta Selatan pada 23 November 2000. Namun kemudian pada tingkat kasasi, MA menganggap putusan itu salah. Sehingga MA mengganjar Pande empat tahun penjara. Sementara itu, Syahril Sabirin dibebaskan.

Putusan MA tersebut tidak membahas soal uang senilai Rp546,46 miliar yang dijadikan barang bukti.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy mengatakan kejaksaan mendapat penawaran dari Djoko Tjandra  untuk mengembalikan uang Rp546,46 miliar tersebut, asal kejaksaan mencabut pengajuan PK kasus Bank Bali.

Namun, Jaksa Agung Hendarman Supandji tetap mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, setelah putusan kasasi MA pada Juni 2001 yang memenangkan dan membebaskan Djoko Tjandra dari dakwaan.

MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh Kejaksaan Agung untuk Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin pada 11 Juni 2009. Sehingga keduanya masing-masing dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp15 juta.

Dalam petikan putusan MA Nomor: 12PK/Pid.Sus/2009 pada 11 Juni 2009 untuk Djoko Tjandra disebutkan bahwa barang bukti berupa uang yang ada dalam rekening penampung atas nama rekening Bank Bali sejumlah Rp546,468 miliar, dirampas untuk dikembalikan ke negara.

Dicekal bepergian

Pada kesempatan lain, dalam persidangan kasus suap US$660.000 terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, terungkap rekaman pembicaraan antara pengusaha Artalyta Suryani (Ayin) dan Kemas Yahya Rahman ketika masih menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Keduanya membicarakan tentang ‘Joker’, yang diduga adalah Djoko Tjandra  yang sedang berperkara di Kejaksaan Agung.

KPK kemudian menyampaikan surat bernomor R1141/01/2008 tertanggal 24 April 2008 yang ditandatangani Wakil Ketua KPK saat itu Bibit Samad Riyanto untuk pencegahan Djoko Tjandra bepergian terkait penyidikan kasus jaksa Urip Tri Gunawan. Namun, tidak disebutkan status Djoko Tjandra, apakah sebagai saksi atau tersangka.

Dalam surat cekal bernomor 110/01/IV/2008 disebutkan Djoko Tjandra dicegah bepergian dalam kapasitas sebagai Direktur Utama PT Mulia Intan Lestari. Setelah proses pemeriksaan berjalan, KPK kemudian mencabut status pencegahan, karena kurang alat bukti pada November 2008.

Kemudian Polri berupaya memeriksa para pimpinan KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan dan pencabutan status pencegahan terhadap pengusaha Djoko Tjandra tersebut.

Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto diperiksa selama delapan jam sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (16/9/2009).

Sebelum putusan dikabulkannya permohonan PK yang diajukan Kejagung oleh MA, pada 11 Juni 2009,  tercium kabar Djoko Tjandra sudah kabur ke Papua Nugini menggunakan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma.

Jampidsus Marwan Effendy enggan menjawab soal adanya pembocoran putusan terkait kaburnya Djoko Tjandra tersebut. Menurutnya, Djoko Tjandra sudah dicekal sejak 11 Juni 2009.

“Jangan suudzon (curiga) dulu. Dia kan punya bisnis di Port Moresby, Papua Nugini, ada adiknya dan kakaknya di sana. Punya perusahaan namanya Papindo,” ujarnya menyanggah tuduhan tersebut.

Baca lagi  Kronologi Penangkapan Djoko Tjandra Setelah 11 Tahun Kabur

Datang ke Indonesia tak dikenal petugas imgrasi

Setelah 11 tahun berlalu, Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin heran Djoko Tjandra bisa datang ke Indonesia pada 8 Juni 2020. Padahal menurut aturan pencekalan, dia tidak bisa masuk ke Indonesia.

“Djoko Tjandra datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali,” ujar Jaksa Agung dalam rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI Senayan Jakarta, Senin (29/6/2020).

Menurut penuturan Dirjen Imigrasi Jhoni Ginting kepada Komisi III DPR RI, Senin (13/7/2020), petugas Imigrasi tidak mengetahui bahwa Djoko Tjandra berstatus buronan. Jhoni beralasan petugas yang bertugas kala itu juga baru lulus studi.

“Kalau dia masih 20 tahun, 23 tahun, baru lulus, dia enggak akan kenal ini Djoko Tjandra pagi-pagi datang,” kata Jhoni.

Jhoni mengatakan Djoko Tjandra membuat paspor ke Kantor Imigrasi Jakarta Utara pada pukul 08.00 WIB pagi. Paspornya rampung satu hari berikutnya, pada 23 Juni 2020. Menurutnya, paspor buronan Kasus Bank Bali ini diambil oleh seseorang yang membawa surat kuasa.

Kemudian paspor diminta imigrasi untuk dipulangkan pada 27 Juni 2020, setelah Imigrasi mendapatkan surat dari Kejaksaan Agung RI.  Jhoni mengatakan paspor diminta dikembalikan dengan surat resmi yang dikirim ke rumah yang bersangkutan di Simprug.

“Karena rumahnya kosong, kami titipkan suratnya kepada RT/RW setempat. Ketemu juga dengan orang kejaksaan di sana, Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Mereka melakukan, kami juga melakukan,” kata Jhoni.

Akhir Pelarian

Ternyata, paspor betul-betul dipulangkan oleh yang bersangkutan ke Imigrasi via pos tanggal 5 Juli 2020. Jhoni pun heran, karena dari isinya, paspor baru tersebut belum pernah dipergunakan. Dengan kata lain, tidak ditemukan cap stempel imigrasi pada paspor tersebut.

De jure-nya dia di Indonesia. De jure, tapi de facto-nya ya bisa di mana-mana,” kata Jhoni sambil menggelengkan kepala.

Alhasil, tiga pejabat tinggi kepolisian, yakni Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo dari Bareskrim,  Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte,  dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet diduga terkait kasus Djoko Tjandra masuk ke Indonesia. Ketiganya langsung dimutasi jabatan oleh Kapolri Jenderal Pol Idham Azis.

Hasil penyelidikan, Prasetijo diketahui mengeluarkan surat jalan bagi Djoko Tjandra atas inisiatif sendiri tanpa seizin pimpinan. Tak hanya itu, pemberian surat keterangan sehat bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra juga melibatkan Prasetijo.

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono menuturkan orang yang mendatangi RS Polri Said Sukanto, Jakarta untuk melakukan rapid test (tes cepat) terkait permintaan surat keterangan sehat bebas Covid-19 bukanlah Djoko Tjandra sendiri. Namun, orang tersebut mengaku sebagai Djoko Tjandra.

“Ada dua orang yang datang ke RS Kramat Jati (RS Said Sukanto), kemudian diterima oleh dokter dan dilakukan rapid test, hasilnya nonreaktif. Orang itu menyebut atas nama Djoko Tjandra, tidak menunjukkan KTP ya karena di situ ada Brigjen PU yang mendampingi,” ujar Argo.

Dengan surat jalan tersebut, Djoko Tjandra diduga melakukan perjalanan ke Pontianak, lalu terbang dengan pesawat pribadi ke Malaysia.

Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo pun ditetapkan statusnya sebagai tersangka atas kaburnya terpidana Djoko Tjandra.

Kronologi penangkapan

Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pada 20 Juli 2020, Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit mendatanginya untuk memberitahu skenario penangkapan kembali Djoko Tjandra.

“Saya diberitahu tanggal 20 itu (Listyo) akan bertemu siapa, bagaimana menangkapnya (Djoko Tjandra). Sehingga sejak siang tanggal 20 itu, saya menganggap tugas saya sudah 90 persen lah, sudah selesai tinggal koordinasi,” kata Mahfud.

Mahfud percaya pada waktu itu, operasi Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit akan berhasil. Listyo pun berhasil menuntaskan tugasnya Kamis malam, 30 Juli 2020, dengan membawa pulang Djoko Tjandra ke Bandara Halim Perdanakusuma.

Keberhasilan itu, jelas dia, juga menjadi jawaban atas keraguan publik selama ini terhadap upaya aparat penegak hukum dalam mengejar buronan korupsi. Listyo pun menegaskan bahwa Bareskrim akan transparan dan obyektif dalam menangani kasus Djoko Tjandra.

“Dan hari ini, kami tunjukkan komitmen kami bahwa Djoko Tjandra bisa kami amankan dan kami tangkap,” jelas Listyo, Kamis (31/7/2020).

Berkat upaya kepolisian tersebut, pelarian panjang Djoko Tjandra telah berakhir. Kini Djoko Tjandra harus mempertagungjawabkan tindakan yang dilakukannya lebih dari 20 tahun tersebut.

ANTARA  I  ARIEF RAHMAN MEDIA

 

 

Related posts

Ini Pedoman New Normal dari WHO yang akan Terapkan di Indonesia

adminJ9

Saat Arus Balik, Pemudik yang tak Punya SIKM Tidak Boleh Masuk Jakarta

adminJ9

3 Peneliti Saksi Haris-Fatia akan Bongkar Rekam Jejak Bisnis Tambang Luhut di Papua

adminJ9