Presiden Jokowi dikerubuti mahasiswa Korea Selatan seusai memberikan kuliah umum
JAKARTA, jurnal9.com – Tinggal menghitung hari Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memasuki masa purnatugas pada Minggu 20 Oktober 2024. Berakhirnya era pemerintahan Jokowi selama 10 tahun telah meninggalkan banyak utang. Tercatat per Agustus 2024 utang pemerintah sebesar Rp 8.461,93 triliun.
Besarnya utang pemerintahan Jokowi ini jadi omongan banyak orang. Disebut sebagai presiden yang paling banyak utangnya, dibandingkan pemerintahan yang dipimpin presiden sebelumnya.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tercatat di APBN KiTa edisi September 2024, disebutkan rasio utang sudah sebesar 38,49 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Secara rinci utang ini terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 7.452,56 triliun atau 88,07 persen. Dan sebesar Rp 1.009,37 triliun atau 11,93 persen berasal dari pinjaman.
Utang SBN terdiri dari SBN domestik sebesar Rp 6.063,41 triliun yang terbagi atas Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 4.845,68 triliun, dan SBN Syariah sebesar Rp 1.217,73 triliun.
Kemudian utang dari SBN Valas atau mata uang asing sebesar Rp 1.389,14 triliun yang terbagi atas SUN sebesar Rp 1.025,14 triliun. Dan SBN Syariah sebesar Rp 364 triliun.
Berikutnya utang dari pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 39,63 triliun, dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 969,74 triliun.
Adapun pinjaman luar negeri terdiri dari bilateral sebesar Rp 264,05 triliun, multilateral Rp 578,76 triliun, dan commercial banks sebesar Rp 126,94 triliun.
Dipengaruhi politik
Menanggapi pandangan masyarakat terhadap besarnya utang pemerintahan Jokowi, menurut Menkeu Sri Mulyani Indrawati, sangat dipengaruhi perspektif politik.
“Masyarakat Indonesia terbiasa terus-menerus melihat utang itu lebih pada nominal. Ya..memang ada distorsi dari sisi political perspektif versus sisi teknokrasi pengelolaan utang,” kata Sri Mulyani.
Menkeu mengatakan dari besaran utang itu paling banyak didominasi SBN dan pinjaman luar negeri. “SBN kan merupakan instrumen investasi dan moneter Bank Indonesia (BI),” ujarnya.
Instrument ini, lanjut Sri Mulyani, digunakan untuk menjaga likuiditas keuangan. “SBN bisa dipakai oleh BI dan pemerintah sesuai kesepakatan. Dalam negara, kalau bond marketnya sudah cukup dalam dan likuid, maka pemerintah bisa menerbitkan SBN cukup banyak untuk dipakai sebagai instrument moneter.”
“Kalau kemudian disebutkan jumlah utang pemerintah termasuk SBN. Padahal SBN itu revolve 1 tahun. Orang itu bisa agak histeris begitu mendengarnya. Padahal itu lebih kepada instrument dari sisi treasury likuiditas,” jelas Sri Mulyani.
Terkait dengan besaran rasio utang, menurut Menkeu, saat ini rasio utang Indonesia masih jauh lebih baik. Masih terjaga di kisaran 38% sampai 39%. Jadi masih di bawah batas aman sebesar 60% PDB. Sesuai UU tentang keuangan negara.
Bahkan ia menegaskan, kalau dibandingkan negara-negara dengan pasar utang yang dalam dan likuid, mereka tidak lagi membicarakan mengenai nilai utang.
“Kita lihat beberapa negara lain, mereka nggak lagi ngomongin tentang jumlah utangnya berapa. Bukan kepada masalah angkanya yang besar. Jadi masyarakat nggak usah khawatir yang berlebihan mengenai posisi utang pemerintah,” ungkapnya.
“Oh.. utang pemerintah naik terus…Padahal kenaikan utang itu seiring dengan kemampuan APBN. Pendapatan pajak naik, ukuran APBN kita juga naik,” cetus Sri Mulyani.
Kemudian dia menyebutkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selama 10 tahun pemerintahan Jokowi berhasil membangun jalan tol sepanjang 2.893,02 km yang sudah beroperasi. Membangun 26 bandara, 25 pelabuhan baru,
Belum lagi jalan nasional, bendungan, rumah, pos lintas batas negara, semua itu menunjukkan penyelesaian proyek-proyek infrastruktur telah memberikan dampak positif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.
ARIEF RAHMAN MEDIA