Presiden Prabowo Subianto
JAKARTA, jurnal9.com – Putusan hakim menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan kepada Harvey Moeis yang dinilai terlalu ringan itu mendapat perhatian Presiden Prabowo Subianto.
“Vonis terlalu ringan untuk koruptor seperti Harvey Moeis yang merugikan negara Rp 300 triliun itu sangat melukai hati rakyat. Dan tidak memenuhi rasa keadilan,” kata Prabowo yang mengkritik putusan tersebut saat memberi pengarahan di hadapan jajaran kementerian/lembaga dan kepala daerah di Jakarta, Senin (30/12/2024).
Presiden menyebut rakyat tidak bisa lagi dibohongi mengenai vonis kasus korupsi yang terlalu ringan. “Rakyat itu sekarang sudah mengerti kalau koruptor merampok ratusan triliun, seharusnya menerima vonis berat. Vonis ya 50 tahun, begitu kira-kira,” ujarnya.
Menanggapi kritik Presiden Prabowo itu, Kapuspenkum Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar menyatakan bahwa Kejagung berpegang pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ketika menentukan tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus korupsi.
“Presiden itu kepala negara, jadi pemikiran presiden itu, pemikiran filosofi, kemaslahatan. Sedangkan kita itu tataran operasional ya.., tentu saja penegakan hukum harus dilaksanakan sesuai regulasi yang ada,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (31/12/2024).
Namun dalam upaya untuk memenuhi rasa keadilan seperti yang diharapkan presiden, kata Harli, kini penuntut umum sedang mendaftarkan banding atas putusan tersebut. “Saat ini jaksa penuntut umum sedang menyusun dalil banding untuk meyakinkan majelis hakim. Upaya Kejagung ini sebagai langkah untuk mendukung semua keputusan presiden, mengenai hukuman berat bagi koruptor,” kata Harli menegaskan.
Berbeda dengan pendapat Koordinator MAKI Boyamin Saiman yang menyebutkan bahwa vonis ringan kasus tipikor sering dipicu karena tuntutan dari JPU yang terlalu rendah.
“Semestinya sejak awal, tuntutan jaksa itu harus diterapkan secara maksimal. Sehingga nantinya saya yakin vonis akan mengikutinya. Ini nggak, jaksa hanya menuntut 12 tahun. Padahal kasus korupsi tambang yang dilakukan Harvey Moeis ini, ada pencucian uang juga, ya semestinya majelis hakim memberikan hukuman berat; seumur hidup,” tuturnya.
“Apalagi pada kasus korupsi timah di Bangka Belitung ini, kerugian lingkungannya mencapai Rp 270 triliun. Jadi seharusnya memberikan vonis seumur hidup,” tegas Boyamin menambahkan.
Ia menilai kesalahan vonis itu berawal dari tuntutan JPU yang terlalu rendah. “Vonis 6,5 tahun itu terlalu ringan. Kalau dibandingkan dengan kasus korupsi Budi Said yang kerugianya Rp 35 miliar aja dihukum 15 tahun. Masak kasus korupsi Harvey Moeis yang merugikan negara sampai Rp 300 triliun, Cuma dihukum 6 tahun 6 bulan. Ini kan sangat tidak memenuhi rasa keadilan,” jelas Boyamin.
Kalau dibandingkan dengan hukuman kasus korupsi di China memang penegakan hukum di Indonesia sangat tidak memenuhi rasa keadilan. Seperti contoh pemerintah China telah mengeksekusi Li Jiangping, mantan sekretaris Partai Komunis kota Hohhot, Mongolia, pada 17 Desember 2024 lalu
Li Jiangping yang melakukan korupsi senilai 3 miliar yuan atau sekitar Rp 6,7 triliun itu dijatuhi hukuman mati. Karena dinyatakan bersalah atas korupsi, penyuapan dan penyelewengan dana publik.
Dan ini tercatat kasus korupsi terbesar dalam sejarah China yang dilakukan seorang sekretaris Partai Komunis di China.
Melihat perbandingan hukuman di China dan Indonesia itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, merasa heran dengan penegakan hukum yang belakangan ini terus melorot.
“Vonis 6,5 tahun penjara untuk Harvey Moeis itu membuat saya terheran-heran. Padahal kasusnya merugikan negara sampai Rp 300 triliun. Jadi ini sangat tidak logis, karena tidak memenuhi rasa keadilan,” ujarnya.
Mahfud juga menyayangkan jaksa yang hanya menuntut 12 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar dan uang pengganti hanya Rp 210 miliar. Kemudian vonis hakim hanya 6,5 tahun plus denda dan uang pengganti Rp 212 miliar. “Ini bener-bener vonis yang tidak logis,” tegasnya lagi.
Adapun alasan hakim memvonis Harvey Moeis lebih ringan dari tuntutan JPU hanya karena terdakwa ‘berperilaku sopan, ada tanggungan keluarga, dan tidak pernah dihukum.
Melihat alasan hakim itu banyak netizen di berbagai media sosial mengkritik dan menertawai vonis Harvey Moeis tersebut.
‘Masak dengan alasan cuma karena terdakwa berperilaku sopan, ada tanggungan keluarga dan tidak pernah dihukum aja kok hakim memberi hukuman penjara yang ringan. Tidak sesuai dengan besarnya uang yang dikorupsi Rp 300 triliun’ sindir seorang netizen @yudihot…
Kejagung sendiri merespon banyaknya kritikan yang menyatakan tidak masuk akal dengan vonis Harvey Moeis yang merugikan negara Rp 300 trliun itu. Bahkan ada yang curiga di balik vonis ini kemungkinan terjadinya suap atau gratifikasi pada hakimnya.
“Kalau ada laporan atau pengaduan soal itu (suap) penyidik Kejagung akan langsung melakukan penyidikan perihal penyimpangan dalam putusan Harvey Moeis tersebut,” tutur Harli.
Begitu pun Komisi Yudisial (KY) juga turut menyoroti vonis ringan Harvey Moeis ini. Dan KY kini sedang mendalami kemungkinan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
ARIEF RAHMAN MEDIA