Ilustrasi keadilan
JAKARTA, jurnal9.com – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak gugatan sejumlah pihak terkait uji materiil Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Adapun sejumlah pihak yang mengajukan gugatan tersebut di antaranya, Ferry Joko Yuliantono (Politisi Partai Gerindra), mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Anggota DPD Fahira Idris, serta beberapa pemohon dari perorangan sebagai warga negara.
Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
“Amar putusan, menyatakan permohonan sejumlah pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan secara daring, Kamis (24/2/2022).
Ketua MK menjelaskan bahwa MK pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Namun karena ada perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pemilu 2014 dengan Pemilu 2019 dan Pemilu pada 2024 nanti.
“Sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu,” jelasnya.
Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, kata Anwar, memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 yang sejalan dengan amanat konstitusi, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengajuan calon presiden dan wakil presiden dengan ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan.
Demikian juga dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, lanjut dia, secara eksplisit yang bisa menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik untuk pengajuan presiden dan wakil Presiden dengan meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
Ketentuan konstitusi tersebut, tegas Anwar Usman, semakin menegaskan bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, bukan perorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.
“Adapun perorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dianggap memiliki kerugian hak konstitusional sepanjang dapat membuktikan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Penilaian kerugian hak konstitusional yang demikian menurut Mahkamah Konstitusi tetap sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945,” demikian MK dalam pertimbangannya.
Dan ditegaskan dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 berbunyi: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
ARIEF RAHMAN MEDIA