Ilustrasi pelaku pembunuhan
NEWS ANALYSIS
Cinta segi tiga makan korban di Tangerang. Bayu Samudra (19) dibunuh Fachrul Ramadhan (21). Berebut cinta Dea Febriani (18). Mirisnya, wajah mayat Bayu dicacah cutter oleh Fachrul, upaya hapus identitas.
JAKARTA, jurnal9.com – Fachrul dan Dea ditangkap polisi di rumah mereka, Kamis (2/6). Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes E. Zulpan kepada wartawan, Jumat (3/6) mengatakan:
“Wanita inisial D terbukti membantu pembunuhan. Mereka kami tangkap, belum 24 jam dari penemuan mayat.”
Hasil penyidikan polisi, kronologi: Semula, Bayu berpacaran dengan Dea. Lalu putus. Lalu Dea pacaran dengan Fachrul. Sejak beberapa bulan lalu.
Fachrul dengan Bayu tidak saling kenal. Fachrul tahu Bayu, setelah ia membuka HP Dea, di situ ada saling chat Dea-Bayu. Lantas, diakui Dea bahwa Bayu mantan pacar. Tapi Dea-Bayu sering chat.
Pemicu problem, dalam chat-chat berikutnya, terbaca Fachrul bahwa Bayu mengajak Dea hubungan seks. Kombes Zulpan: “Korban BS sering chat mengajak tersangka DF berhubungan badan. Sehingga membuat tersangka FR kesal.”
Kemudian Fachrul merencanakan tindak kekerasan terhadap Bayu.
Modusnya, Dea disuruh Fachrul menelepon Bayu, mengajak ketemu. Di Perumahan Fortune, Cileduk, Tangerang. Bayu pun oke.
Rabu, 1 Juni 2022 pagi. Dea mendatangi tempat janjian. Naik angkot. Sementara, Fachrul sudah lebih dulu berada di sekitar lokasi. Mengintai, duduk di motornya.
Begitu Dea tiba di lokasi, hampir bersamaan, Fachrul masuk rumah itu juga. Seketika, Dea keluar rumah lagi. Kabur, menggunakan motor Fachrul.
Fachrul – Bayu berhadapan muka. Fachrul sudah menyiapkan sebotol sprai cleaner. Tanpa dialog. Langsung, sprai disemprotkan ke wajah Bayu.
Bayu kaget, kena semprot mata. Ia membekap wajah sambil menunduk.
Fachrul mengeluarkan palu besi dari tasnya. Dipukulkan ke kepala Bayu. Tiga kali. prak… prak.. prak… Kena ubun-ubun, tengkorak belakang dua kali. Bayu ambruk kelojotan di lantai.
Setelah tubuh Bayu tak bergerak, Fachrul menyeret tubuh Bayu keluar rumah. Diseret sampai semak-semak di pinggir jalan tol Tangerang-Merak. Tepatnya, di dekat Gerbang Tol Karang Tengah.
Dari penjelasan polisi, berarti rumah sebagai TKP tak jauh dari semak-semak. Juga, tidak ada tetangga yang melihatnya.
Lalu, Fachrul kabur membawa motor Bayu, juga mengambil HP Bayu. Tampak seperti perampokan.
Kapolres Tangerang Kota, Kombes Zain Dwi Nugroho kepada pers mengatakan, Fachrul ternyata balik ke TKP lagi, beberapa menit kemudian. Ia mendatangi tubuh Bayu di semak-semak.
Kombes Zain: “Pelaku kembali lagi ke TKP, membawa cutter merah. Lalu menyayat leher korban untuk memastikan korban benar-benar meninggal. Dan, merusak wajah korban dengan cutter, upaya menghilangkan jejak.”
Rabu, 1 Juni 2022 sore, mayat Bayu ditemukan warga. Dilaporkan ke polisi. Di dekat tubuh Bayu ada cutter warna merah. Identitas korban segera diketahui, lalu polisi memburu dan menangkap Fachrul dan Dea.
Cinta segi tiga berakhir dengan kekerasan. Puncaknya adalah pembunuhan.
Catherine Manning, Direktur SEED (Self Esteem Education and Development) konsultan kenakalan remaja di Australia. Terutama, ahli bidang percintaan muda-mudi.
Dalam wawancara dengan The Sydney Morning Herald, 30 April 2016, menyatakan, cemburu memang sangat berbahaya. Baik bagi orang yang cemburu, dan orang lain.
Manning menyatakan cemburu itu delusi. Delusi adalah meyakini hal yang belum nyata. Atau belum terbukti nyata. Dalam kondisi belum terbukti itulah, justru memicu tindakan membabi-buta. Karena imajinasi pecemburu sudah melampaui kenyataan.
Mungkin, itu pula disebut cemburu buta.
Di kasus Tangerang, kenyataan ada hubungan antara Dea dengan Bayu. Terbukti mereka saling chat. Tapi, belum terbukti Dea-Bayu berhubungan seks. Di kondisi belum terbukti itulah melambungkan imajinasi pelaku, seolah-olah Dea-Bayu pernah berhubungan seks.
Manning menyatakan, cemburu bisa timbul akibat salah satu dari pasangan (pria atau wanita) melakukan Public Displays of Affection (PDA), yaitu memamerkan kemesraan pasangan yang berpacaran.
Pelaku PDA, menurut Manning, kebanyakan wanita. Sebab, wanita akan merasa lega (tepatnya bangga) jika dia diinginkan oleh pria. Kebanggan itu dirasa perlu dipamerkan.
Di kasus Tangerang, teori Manning ini, bisa masuk. Bisa tidak. Tergantung penyidikan. Apakah Dea sengaja memamerkan mantannya kepada Fachrul. Atau Fachrul tipe pecemburu yang selalu memeriksa HP pacarnya.
Sebaliknya, pria tak ubahnya hewan (apa pun) jantan yang cenderung menguasai betina pasangannya. “Semua unggas, atau hewan buas seperti singa, jantan memonopoli seks betina pasangannya. Dan, selalu saja muncul jantan lain yang hendak merebut si betina,” tulisnya.
Digambarkan, burung jantan menarik betina dengan kicau indahnya. Lalu menguasai si betina. Terjadilah kawin. Jika kemudian ada jantan lain mendekat, maka jantan-jantan bertarung kicauan. Duel kicau. Memikat betina (yang senyum tipis-tipis).
Tapi manusia bukan hewan. Pasti.
Manning memberi tips, agar manusia tidak seperti hewan. Ketika manusia diliputi cemburu, diselimuti delusi.
1)Berhenti.
Ketika perasaan cemburu muncul, kendalikan pikiran Anda. Jangan biarkan imajinasi Anda merajalela. Berhentilah. Libatkan logika Anda sebelum cemburu berubah menjadi pembunuhan.
2) Perhatikan situasinya.
Bernapaslah dalam-dalam. Perlahan, sadari bahwa imajinasi Anda mungkin sangat berbeda dengan kenyataan. Pikirkan, seumpama imajinasi itu benar, pun Anda bisa cari wanita / pria lain.
3) Kemudi.
Ketahuilah bahwa Anda memiliki kekuatan untuk mengubah arah pikiran negatif Anda, menuju pikiran positif. Anda bukan hewan, yang tidak mampu berlogika, dan mengendalikan emosi.
Bagian akhir itu paling tidak enak. Karena, kalau tidak mampu berlogika atau mengendalikan emosi, manusia adalah sama dengan hewan.
Bandingkan itu dengan ungkapan ini: “Bunga-bunga tidak bakal tampak indah, tanpa dirimu di sisiku.”
Karena, Manning mengajak kita untuk mengarahkan pikiran ke sini: “Dunia tak sedaun kelor. Apalagi kalau di rumah, kamu cuma pakai celana kolor.”
Betapa pun hebatnya logika teori, jika cemburu sudah menyelimuti jiwa, bagai api membara di dada. Tinggal menunggu pencetus. Mengobarkan amarah.
Pertanyaannya, apakah manusiawi, jika manusia dekat dengan karakter hewani? (*)
Djono W. Oesman
Penulis: Wartawan Senior