Sesama anggota Komisi Fatwa MUI saling berbeda pendapat saat mengeluarkan Fatwa MUI terbaru Nomor 31 Tahun 2000 yang membolehkan Shalat Jumat dua gelombang atau dilakukan secara bergantian. Ini berbeda dengan Fatwa MUI yang lama Nomor 5 Tahun 2000 yang menyatakan hukumnya tidak sah Shalat Jumat yang dilakukan dua gelombang.
JAKARTA, jurnal9.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa terbaru bernomor 31 Tahun 2020 pada Kamis (4/6) tentang Shalat Jumat boleh dilakukan dua gelombang atau secara bergantian shift selama masa pandemi corona guna mencegah penularan virus tersebut.
Namun ada perbedaan pendapat tentang fatwa MUI tersebut, termasuk di antara Komisi Fatwa MUI sendiri sebelum Fatwa Shalat Jumat dua gelombang ini dikeluarkan (4/6).
Sebelumnya, sudah diterbitkan Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Shalat Jumat dua gelombang. Dalam fatwa tersebut MUI menyatakan bahwa Shalat Jumat yang dilakukan dua gelombang atau secara bergantian shift dianggap tidak sah.
Dasar Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2000 yang lama, menurut Ketua MUI Bidang Kerukunan Umat Beragama KH Yusnar Yusuf, mengakui berbeda pendapat dengan anggota Komisi Fatwa MUI lainnya yang menerbitkan fatwa terbaru Nomor 31 Tahun 2000 tentang Shalat Jumat dua gelombang itu sah.
KH Yunar Yusuf menjelaskan bahwa taujihat atau amanat Fatwa MUI yang lama berdasar hukum yang menyebutkan, “Para ulama dari zaman ke zaman tidak memilih opsi Shalat Jumat dua gelombang atau lebih di tempat yang sama. Pasalnya, Shalat Jumat membolehkan dilakukan lebih dari satu masjid di satu kawasan.”
Penjelasan berikutnya, “Hukum Shalat Jumat itu sekali saja, dan hanya dilakukan di satu masjid di setiap kawasan, serta dilakukan dengan segera tanpa menunda waktu. Dalam kondisi dharurah (darurat) atau kebutuhan mendesak misalnya jauhnya jarak antara tempat penduduk dan masjid atau tidak menampungnya kapasitas masjid karena kepadatan penduduk di suatu wilayah, maka dalam kondisi seperti itu dibolehkan mengadakan Shalat Jumat di tempat lebih dari satu masjid.”
Perbedaan pendapat dengan anggota Komisi Fatwa MUI yang mengeluarkan fatwa Nomor 31 Tahun 2000 terbaru punya alasan dharurah. Dasar dharurah yang dimaksud, selama masa pandemi corona ini masjid harus menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak fisik (physical distancing). Karena dengan merenggangkan shaf, kemungkinan ada jemaah yang tidak tertampung, sehingga pelaksanaan Shalat Jumat terpaksa dilakukan dengan cara dua gelombang atau secara secara bergantian shift.
Namun, salah satu isi Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2000 yang terbaru tersebut, membebaskan umat Islam untuk boleh memilih melaksanakan Shalat Jumat dua gelombang atau secara bergantian shift dan boleh tidak memilih dengan cara bergantian.
“Boleh dilakukan ta’addud al-jumu’ah (penyelenggaraan Shalat Jumat berbilang), dengan menyelenggarakan Shalat Jumat di tempat lainnya seperti musala, aula, gedung pertemuan, gedung olahraga, dan stadion,” dalam kutipan berikutnya.
“Terhadap perbedaan pendapat di atas, dalam pelaksanaannya umat Islam dapat memilih salah satu di antara dua pendapat dengan mempertimbangkan keadaan dan kemaslahatan di wilayah masing-masing.”
Selain itu, dalam Fatwa MUI terbaru ini, MUI juga mengatur tentang perenggangan shaf shalat. MUI menyatakan shalat berjamaah dengan shaf yang tidak lurus dan tidak rapat karena pertimbangan dharurah, physical distancing untuk mencegah penularan virus corona, maka hukumnya tetap sah. Cuma kehilangan keutamaan dan kesempurnaan shalat berjamaahnya saja.
MUI juga membolehkan pakai masker saat shalat dengan pertimbangan hidung yang tertutup tidak termasuk anggota badan yang harus menempel pada tempat sujud saat salat.
Meski pada dasarnya, shalat memakai masker hukumnya makruh, kecuali ada hajat syar’iyyah. Namun hukumnya tetap sah dan tidak makruh karena ada hajat untuk mencegah penularan wabah covid-19.
Dalam fatwa tersebut, MUI juga memberikan tiga rekomendasi:
Pertama, pelaksanaan Shalat Jumat dan jamaah perlu tetap mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker, membawa sajadah sendiri, wudhu dari rumah, dan menjaga jarak aman.
Kedua, khotib perlu memperpendek pelaksanaan khutbah Jumat dan memilih bacaan surat Alquran yang pendek dalam bacaan shalatnya.
Ketiga, jamaah yang sedang sakit dianjurkan shalat di kediaman masing-masing.
Berikut Isi Fatwa Lengkap MUI Nomor 31 tahun 2020:
FATWA NOMOR 31 TAHUN 2020 TENTANG PENYELENGGARAAN SHALAT JUM’AT DAN JAMAAH UNTUK MENCEGAH PENULARAN WABAH COVID-19
I. KETENTUAN HUKUM
A. Perenggangan Shaf Saat Berjamaah
1. Meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) pada shalat berjamaah merupakan keutamaan dan kesempurnaan berjamaah.
2. Shalat berjamaah dengan shaf yang tidak lurus dan tidak rapat hukumnya tetap sah, tetapi kehilangan keutamaan dan kesempurnaan jamaah.
3. Untuk mencegah penularan wabah COVID-19, penerapan physical distancing saat shalat jamaah dengan cara merenggangkan saf hukumnya boleh, shalatnya sah dan tidak kehilangan keutamaan berjamaah karena kondisi tersebut sebagai hajat syar’iyyah.
B. Pelaksanaan Shalat Jum’at
1. Pada dasarnya shalat Jum’at hanya boleh diselenggarakan satu kali di satu masjid pada satu kawasan.
2. Untuk mencegah penularan wabah Covid-19 maka penyelenggaraan shalat Jumat boleh menerapkan physical distancing dengan cara perenggangan shaf.
3. Jika jamaah shalat Jum’at tidak dapat tertampung karena adanya penerapan physical distancing, maka boleh dilakukan ta’addud al-jumu’ah (penyelenggaraan shalat Jum’at berbilang), dengan menyelenggarakan shalat Jum’at di tempat lainnya seperti mushalla, aula, gedung pertemuan, gedung olahraga, dan stadion.
4. Dalam hal masjid dan tempat lain masih tidak menampung jamaah shalat Jum’at dan/atau tidak ada tempat lain untuk pelaksanaan shalat Jum’at, maka Sidang Komisi Fatwa MUI berbeda pendapat terhadap jamaah yang belum dapat melaksanakan shalat Jum’at sebagai berikut:
a. Pendapat pertama, jamaah boleh menyelenggarakan Shalat Jum’at di masjid atau tempat lain yang telah melaksanakan shalat jum’at dengan model shift, dan pelaksanaan shalat Jum’at dengan model shift hukumnya sah.
b. Pendapat Kedua, jamaah melaksanakan shalat zuhur, baik secara sendiri maupun berjamaah, dan pelaksanaan shalat Jum’at dengan model shift hukumnya tidak sah.
Terhadap perbedaan pendapat di atas (point a dan b), dalam pelaksanaannya jamaah dapat memilih salah satu di antara dua pendapat dengan mempertimbangkan keadaan dan kemaslahatan di wilayah masing-masing.
c. Penggunaan Masker Saat Shalat
1. Menggunakan masker yang menutup hidung saat shalat hukumnya boleh dan shalatnya sah karena hidung tidak termasuk anggota badan yang harus menempel pada tempat sujud saat shalat.
2. Menutup mulut saat shalat hukumnya makruh, kecuali ada hajat syar’iyyah. Karena itu, shalat dengan memakai masker karena ada hajat untuk mencegah penularan wabah COVID-19 hukumnya sah dan tidak makruh.
II. REKOMENDASI
1. Pelaksanaan shalat Jumat dan jamaah perlu tetap mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker, membawa sajadah sendiri, wudlu dari rumah, dan menjaga jarak aman.
2. Perlu memperpendek pelaksanaan khutbah Jum’at dan memilih bacaan surat al-Quran yang pendek saat Shalat.
3. Jamaah yang sedang sakit dianjurkan shalat di kediaman masing-masing.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Syawal 1441 H/4 Juni 2020 M
RAFIKI ANUGERAHA M I ARIEF RAHMAN MEDIA