Jurnal9.com
Headline News

Revisi Kedua UU ITE: Hak-Hak Masyarakat Dilindungi Sampaikan Komplain di Medsos

Ilustrasi unjuk rasa menuntut revisi total UU ITE

JAKARTA, jurnal9.com – Seseorang melakukan kritik terhadap kepentingan publik lewat media sosial (medsos) tidak akan terjadi lagi untuk dijerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hasil revisi kedua ini.

“Di aturan itu hak-hak masyarakat [kritik lewat medsos] telah dilindungi. Jadi masyarakat yang melakukan kritik terhadap kepentingan publik, sudah bebas dari jeratan UU ITE itu ,” kata Nezar Patria, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) kepada wartawan, Selasa (5/12/2023).

Dia mencontohkan kasus Prita Mulyasari yang pernah dijerat UU ITE saat dirinya melakukan keluhan yang bernada kritik atau komplain pelayanan yang buruk di sebuah rumah sakit pada 2008 lalu.

“Bermula saat Prita memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional Tangerang. Setelah pulang dari rumah sakit dia mengeluhkan soal pelayanan di rumah sakit tersebut lewat media sosial. Namun komplainnya jadi masalah, Prita digugat dengan pasal karet UU ITE,” ujarnya.

Pasal karet UU ITE yang sering menjerat seseorang itu; pasal 27 ayat 3. Pasal ini melarang orang untuk mendistribusikan atau membuat konten yang dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik.

Sehingga pasal ini, kata Nezar, sering disalahgunakan oleh beberapa pihak yang dianggap mengkritik dan mencemarkan nama baik. Padahal maksudnya Prita mengeluh dengan melakukan komplain karena adanya pelayanan yang dianggap kurang baik.

Pasal 27 ayat 3 yang dianggap pasal karet itu berbunyi:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ayat ini telah diubah dalam revisi kedua UU ITE terbaru yang berbunyi:

“Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”

Nezar menyebutkan pasal yang mengatur muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dan pemerasan atau pengancaman ini sudah ditiadakan.

Salah satunya pasal yang direvisi: pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai kesusilaan. Dalam revisinya ada penambahan ‘pengecualian’ pidana bagi orang yang menyebarkan konten asusila (seperti kekerasan seksual) untuk membela diri.

Pasal mengenai kesusilaan dalam UU ITE ini dianggap sebagai pasal karet. Sebab banyak korban kekerasan seksual di ruang siber, justru diancam dipidana, karena menyebarkan konten kekerasan seksual yang dialaminya.

“Namun dengan hasil revisi kedua UU ITE ini, pidana tidak bisa ditujukan pada seseorang yang menyebarkan konten asusila yang bertujuan untuk membela diri,” tegas Nezar.

“Contoh kasus yang dialami Baiq Nuril, guru di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2014/2015 silam,” ia menambahkan.

Baiq Nuril, guru honorer ini menerima telepon dari kepala sekolahnya bernama Muslim. Sang kepala sekolah ini marah pada Nuril karena merekam saat dirinya berduaan di dalam ruangan.

Rekaman pelecehan seksual itu tersebar luas, sehingga membuat Muslim dimutasi dari jabatannya sebagai kepala sekolah SMAN 7 Mataram. Kemudian Muslim melaporkan Nuril ke Polres Mataram dengan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 UU ITE.

Nuril dipanggil penyidik Polres Mataram dan langsung ditahan dengan dijerat Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Nuril mendapatkan tuduhan dugaan tindak pidana mentransmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan itu.

Setelah proses panjang, Baiq Nuril justru divonis enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsidier tiga bulan kurungan pada 2019.

Baca lagi  Amnesty: Kasus Penjeratan UU ITE Saat Kepemimpinan Jokowi Meningkat Tajam

Kasus Nuril yang dipenjara itu mendapat perhatian Presiden Joko Widodo. Sampai  akhirnya presiden memberikan amnesti, dan Nuril bebas dari jerat hukum. “Padahal maksud Baiq Nuril merekam pelecehan seksual yang dilakukan Muslim itu bertujuan ingin melindungi diri. Rekaman itu sebagai bukti kalau dirinya dilecehkan.

Kasus Baiq Nuril yang melakukan perekaman ini dilakukan untuk membela diri. Dalam revisi kedua di UU ITE pasal 27 ayat (1) ini ada ‘pengecualian’ mengenai kesusuliaannya.

Pengecualian ini bisa dilihat di poin revisi Pasal 45 KUHP yang mengatur tuntutan apabila seseorang melanggar norma di pasal 27 ayat (1) yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan tidak bisa dipidanakan dalam hal: membela diri dilakukan untuk kepentingan umum……..”

Pasal pencemaran nama baik yang ada pengecualian ini dirubah dan disesuaikan dengan KUHP baru yang akan berlaku pada 2026.

Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan dan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal untuk diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.

Kemudian Pasal 27 B mengatur larangan distribusi informasi elektronik yang dimaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, seperti memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.

Pasal 28 B ayat (2) menjelaskan larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya: memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.

Dalam Pasal 28, pemerintah dan DPR menyisipkan tambahan satu ayat. Selain larangan untuk menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan kerugian dan juga larangan menyebarkan informasi kebencian dan permusuhan individu atau SARA. Terdapat tambahan ayat (3) yang berbunyi.

“Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di  masyarakat.”

Sedangkan frasa pribadi di kasus ancaman kekerasan pada Pasal 29 telah dihapus.
Pasal 29 awalnya bermuatan soal ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Kini Pasal 29 ini berubah menjadi:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti.”

Selain itu, Nezar menjelaskan total ada 14 pasal yang mengalami revisi kedua pada UU ITE kali  ini. Selain ada penambahan 5 pasal baru.

Salah satunya pasal baru itu menyangkut perlindungan anak saat akses IT, yaitu Pasal 16 A dan 16 B. Dalam beleid ini mengatur soal perlindungan bagi anak saat mengakses sistem elektronik.

Penyelenggara sistem elektronik wajib untuk menyediakan sejumlah informasi di antaranya:

a. informasi mengenai batasan minimum usia anak yang dapat menggunakan produk atau layanannya;

b. mekanisme verifikasi pengguna anak; dan

c. mekanisme pelaporan penyalahgunaan produk, layanan, dan fitur yang melanggar atau berpotensi melanggar hak anak.

Jika tidak dipatuhi, penyelenggara sistem elektronik (PSE) ini bisa dikenakan sanksi teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, sampai pemutusan akses.

GEMAYUDHA M  I  ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

Mahasiswa UI Kritik Jokowi dan Puan dengan Meme Tikus Berkepala Puan Maharani

adminJ9

Didi Supriyanto: Penegakan Hukum, Momentum 100 Hari Pemerintahan Prabowo

adminJ9

Pengendara di Suramadu, Kabur Saat Tes Covid, Ada 477 KTP Ditinggal Pemiliknya

adminJ9