Ilustrasi menanti penerapan pidana hukuman mati
DENPASAR, jurnal9.com – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mendukung upaya Jaksa Agung ST Burhanuddin yang ingin menerapkan pidana hukuman mati bagi koruptor.
“Saya setuju [diterapkan pidana hukuman mati bagi koruptor]. Bahkan saya mengusulkan perlu dibuat pasal tersendiri, sehingga tindak pidana korupsi bisa dikenakan hukuman mati,” kata Firli Bahuri dalam webinar ‘Sinergitas Pemberantasan Narkoba, Korupsi dan Terorisme’ di Mapolda Bali, Denpasar, Rabu (24/11/2021)..
Namun ia menekankan penerapan ancaman hukuman mati ini harus mengikuti Undang-Undang.
“Semua proses harus mengikuti prosedur hukum. Hukuman mati sampai hari ini hanya diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 UU 31 Tahun 1999. Syarat hukuman mati ini adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan bencana maupun dalam keadaan tertentu. Tetapi Pasal 2 ayat 1 ini bisa dikenakan tehadap pelaku korupsi kalau dia melakukan tindak pidana korupsi Pasal 2 Ayat 1,” jelas Ketua KPK itu.
Namun menurut Firli, upaya Jaksa Agung Burhanuddin untuk menerapkan pidana hukuman mati ini mendapat penolakan dari para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).
Sementara itu Jaksa Agung Burhanuddin sendiri mengakui bahwa aktivis HAM mendapat dukungan dari dunia internasional yang mendorong setiap negara untuk menghapus pidana hukuman mati. “Alasanya jika hak hidup manusia merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun kecuali oleh Tuhan,” ungkapnya.
“Penolakan para aktivis HAM ini tidak dapat kita terima begitu saja. Sebab selama konstitusi memberikan ruang yuridis, dan kejahatan itu sangat merugikan bangsa dan negara, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapakan hukuman mati,” tegas Burhanuddin Kamis (18/11/2021).
Jaksa Agung menjelaskan negara senantiasa melindung hak asasi setiap orang, namun di satu sisi orang tersebut juga harus memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain.
Peletakan pola dasar hukum Pancasila, lanjut dia, menekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban agar tercipta tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Burhanuddin menjelaskan dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Namun jika dilihat dari penyusunan pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan HAM di dalam UUD 1945 itu, menurut dia, tampak ada suatu pembatasan HAM yang tertuang di pasal penutupnya.
Seperti ketentuan dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 telah mewajibkan setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kemudian dalam pasal penutup HAM yaitu di Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, menegaskan jika HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak.
“Berarti negara dapat mencabut HAM setiap orang jika orang tersebut melanggar undang-undang,” tegas Burhanddin.
Dengan demikian, kata Jaksa Agung, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka pidana hukuman mati untuk koruptor dapat diterapkan. “Tidak terhalang oleh persoalan HAM lagi.”
“Jika pidana hukuman mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi? Ini yang menjadi pertanyaan para aktivis itu,” kata Burhanuddin.
“Saya bilang selama ini perkara korupsi di Indonesia belum ada tanda-tanda menurun. Justru semakin meningkat kuantitasnya. Karena itu sudah sepatutnya kita melakukan terobosan dengan menerapkan pidana hukuman mati guna memberantas korupsi yang dapat memberikan efek jera,” ungkap Burhanuddin.
Selama ini kejaksaan telah melakukan berbagai upaya penegakan hukum, misalnya menjatuhkan tuntutan yang berat sesuai tingkat kejahatan, mengubah pola pendekatan dari “follow the suspect” menjadi “follow the money” dan “follow the asset”, serta memiskinkan koruptor.
Tapi ternyata belum ampuh memberikan efek jera. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat, karena koruptor silih berganti, dan terus tumbuh.
Contoh belakangan terjadi kasus megakorupsi; pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya. Dalam kasus ini kerugian negara sangat besar nilainya mencapai Rp16,8 triliun (kasus Jiwasraya), dan Rp22,78 triliun (kasus Asabri). Kasus ini melibatkan dua terdakwa yang sama di dua kasus tersebut, yakni Benny Tjockrosaputro dan Heru Hidayat.
ARIEF RAHMAN MEDIA