LABUAN BAJO, jurnal9.com – Sebuah video animasi rancangan pembangunan “Wisata Jurassic Indonesia” dengan diiringi musik latar film blockbuster Hollywood ‘Jurassic Park’ yang terkenal itu, diunggah di akun Instagram Fania Hafila, seorang arsitek yang ikut merancang pembanguan tersebut.
Di akhir video, tercantum logo Kementerian Pembangunan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai penanggung jawab pembangunan dengan luas 1,3 hektar itu.
Melihat tayangan video itu warga yang tinggal di sekitar Pulau Rinca merasa kaget. Apalagi penduduk asli yang sehari-hari, ada yang bekerja menjadi pemandu wisata, membuka usaha kerajinan souvenir, dan sejumlah pedagang makanan-minuman di lokasi wisata tersebut.
Mereka mulai resah dengan rencana pembangunan ‘Wisata Jurassic Indonesia’ yang dirancang pemerintah pusat itu.
Rencana pembangunan ‘Jurassic Park’ pertama kali dicetuskan oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, pada tahun lalu.
Luhut pernah mengatakan nantinya ‘Jurassic Park’ dengan luas 1,3 hektar ini akan memiliki pusat penelitian. Sehingga kawasan wisata komodo ini nantinya akan membuat sejahtera penduduk setempat.
Namun tak disangka pembangunan ‘Jurassic Park’ di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur, ini mendapat penolakan sejumlah warga setempat. Pulau Rinca merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo, yang dilindungi. Di lokasi ini terdapat banyak penduduk asli yang hidup berdampingan dengan hewan komodo yang langka itu.
Akbar Allayubi, pemandu wisata yang tinggal di Pulau Komodo, adalah salah satu yang menolak pembangunan Jurassic Park itu. Sebagai penduduk asli, ia mengaku tidak pernah diajak bicara mengenai rencana pemerintah pusat maupun pemerintah daerah akan membangun kawasan wisata di pulau ini. “Kami hanya tahu dari media online lokal saja,” kata Akbar kepada ABC Australia.
Menurutnya banyak warga yang pasti akan menolak semua rencana pembangunan karena mengancam habitat komodo serta ekosistem di kawasan Taman Nasional Komodo. “Kami mendefinisikan konservasi bukan soal income [pendapatan] atau benefit [keuntungan],” ujarnya.
“Kami memahami soal konservasi yang merupakan wasiat leluhur, mereka mengajarkan bahwa komodo dan ekosistemnya adalah saudara kami,” tutur Akbar.
Ia menilai pembangunan berbasis beton bertentangan dengan konsep konservasi yang menjadi habitat komodo. Dan lokasi ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi nasional oleh Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (Formapp).
Salah satu anggota Formapp, Venan Haryanto mengkhawatirkan pembangunan sumur bor, sebagai bagian dari sarana dan prasarana yang akan mematikan sumber-sumber air di kawasan Pulau Rinca yang selama ini menjadi tempat hidup satwa liar.
Selain komodo, Taman Nasional Komodo seluas 1.817 kilometer persegi ini juga menjadi rumah bagi hewan unik lainnya, seperti tikus Flores dan rusa Timor.
Gregorius Afioma dari lembaga swadaya masyarakat ‘Sunspirit for Peace and Justice’ mengatakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sama-sama mengabaikan konsep konservasi alam.
“Taman Nasional Komodo, sebagai satu kesatuan ekosistem, bagaimana mungkin di Pulau Rinca ini dirancang bangunan yang mewah, sementara di Pulau Komodo dibuat seolah-olah harus alamiah, padahal kedua pulau itu sama-sama habitat komodo?,” ujar Gregorius.
Sementara akademisi dari Jurusan Biologi Universitas Indonesia, Dr Jatna Supriatna mengatakan desainnya harus dipikirkan secara cermat agar tidak mengganggu habitat komodo.
Formapp menilai, pembangunan ala ‘Jurassic Park’ tidak bisa dipisahkan dari keinginan Pemerintah Pusat yang memasukkan Labuan Bajo ke dalam lima kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) Super Prioritas.
Empat kementerian yang ditugaskan Presiden Joko Widodo, yakni Kementerian Pariwisata, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pembangunan Umum, dan Kementerian BUMN, menargetkan pembangunan lima kawasan yang bisa menjadi ‘Bali baru’ ini segera rampung meski saat pandemi covid-19.
Menanggapi rencana pemerintah pusat, Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat mengusulkan agar Pulau Rinca dikembangkan sebagai tujuan ‘mass tourism’ atau pariwisata massal, sementara pulau Komodo dan pulau Padar agar dirancang sebagai destinasi eksklusif.
Alasan lain yang sering dipakai pemerintah untuk mempercepat pembangunan di Labuan Bajo, menurut Venan dari Formapp, adalah persiapan sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang akan dilangsungkan pada 2023.
“Pembangunan infrastruktur untuk perhelatan KTT G20 sangat kontraproduktif dengan agenda ekologi yang dimandatkan KTT 2017, yakni isu perubahan iklim dan ancaman terhadap pembangunan berkelanjutan,” kata Venan.
“Seandainya negara-negara anggota G-20 tahu jika KTT 2023 akan berlangsung di Labuan Bajo-Nusa Tenggara Timur, akan berdampak buruk bagi ekologi Taman Nasional Komodo.”
Sementara itu, Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo, Shana Fatina mengklaim pembangunan ala ‘Jurassic Park’ di Pulau Rinca sudah sesuai aturan karena dilakukan di kawasan khusus yang tidak mengganggu ekosistem.
“Pembangunan dilakukan di zona pemanfaatan, termasuk untuk akses alat berat dan lain-lainnya,” kata Shana.
Shana menjelaskan, rencana pembangunan Pulau Rinca telah melalui proses panjang, karena harus melalui izin lingkungan dan melewati proses analisa dampak lingkungan.
Ia mengaku jika proses ini telah dikawal UNESCO, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sejauh ini, aliansi masyarakat sipil yang menolak pembangunan di kawasan Taman Nasional Komodo, sudah tiga kali melayangkan protes kepada pemerintah, termasuk DPR dan DPRD, namun belum mendapat tanggapan.
Mereka juga sudah melayangkan surat ke UNSECO dan UNEP, sebagai organisasi yang memberikan status ‘World Heritage Site’ pada tahun 1991 kepada Taman Nasional Komodo.
“UNESCO tidak memiliki yurisdiksi atas situs yang diakui oleh organisasi dan program terkait, ini adalah wilayah kedaulatan anggota negara tempat mereka berada,” demikian petikan isi balasan kepada forum masyarakat yang ditandatangani oleh Shahbaz Khan, Direktur dan and Perwakilan UNESCO di Jakarta.
Menanggapi surat balasan UNESCO, Gregorius dari ‘Sunspirit for Peace and Justice’ mengaku kecewa. “[Membaca jawaban UNESCO] akhirnya kami sadar bahwa UNESCO hanya memberi gelar untuk branding dengan maksud yang ekonomistik, tetapi tidak punya tanggung jawab etis untuk persoalan lingkungan dan sosial yang timbul,” tegasnya.
Sumber: ABC Australia
ARIEF RAHMAN MEDIA