“Korban memiliki hak atas kebenaran. Mereka berhak untuk tahu mengenai kebenaran di balik pelanggaran HAM yang sudah terjadi. Tetapi, kenyataannya melalui mekanisme non-yudisial ini pemerintah lebih mengutamakan rekonsiliasi daripada pengungkapan kebenaran,”
JAKARTA, jurnal9.com – Jaksa Agung ST Burhanuddin pernah mengungkapkan bahwa salah satu kendala yang dihadapi Kejaksaan Agung dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat karena tidak adanya pengadilan HAM ad hoc hingga saat ini.
Pasalnya, menurut dia, proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM hanya bersifat pendukung proses penegakan hukum atau pro justitia yang masih memerlukan izin dari ketua pengadilan untuk kemudian perkaranya diputuskan di pengadilan HAM ad hoc.
“Jadi kendalanya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat [karena] belum adanya pengadilan HAM ad hoc,” kata Burhanuddin kepada wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Jaksa Agung kemudian menyampaikan proses pembuktian peristiwa pelanggaran HAM berat juga mengalami kendala karena harus tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dia menyebutkan keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti, kecuali didukung alat bukti lain, seperti ahli forensik, uji balistik, atau dokumen terkait.
Burhanuddin juga mengaku kesulitan dalam memperoleh alat bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Karena waktu kejadian sudah lama dan lokasi kejadian telah mengalami perubahan.
“Tempus delicti sudah lama, locus delicti sudah berubah, alat bukti sulit diperoleh dan hilang atau tidak ada,” ungkapnya.
Karena itu, menurut Jaksa Agung, regulasi terkait opsi penanganan pelanggaran HAM berat di Indonesia untuk mencapai kepastian hukum perlu ditinjau kembali demi mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan instrumen HAM secara universal.
Janji Presiden Jokowi sendiri dalam pidatonya pada Hari HAM Internasional 2020 lalu, presiden menyatakan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Sebagai perwujudan dari komitmen tersebut, pemerintah kini sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang penyelesaian HAM masa lalu. Dan Menkopolhukam juga akan membentuk kembali Komisi Pengungkapan Kebenaran sebagai salah satu proses yang ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tanpa mengabaikan mekanisme lainnya, baik yudisial maupun non-yudisial.
Selain itu pemerintah juga sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden Tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Melalui Mekanisme Nonyudisial (Rancangan Perpres UKP-PPHB) 2021.
Kemudian pada 12 Maret 2021 lalu, Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM dalam rapatnya menyampaikan rencana untuk membahas kembali Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) serta Rancangan Perpres UKP yang berfokus pada pemulihan korban pelanggaran HAM berat.
Langkah pemerintah ini mendapat sorotan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Karena hingga hari ini belum ada satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sesuai dengan standar-standar universal yang diterima oleh komunitas HAM internasional.
Justru KontraS menilai Rancangan Perpres tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (UKP-PPHB) melalui mekanisme nonyudisial ini bakal menjadi sarana ‘cuci tangan’ bagi para pelakunya.
KontraS mengatakan melalui perpres ini penanganan HAM yang akan dilakukan melalui mekanisme nonyudisial ini diklaim untuk memulihkan korban melalui jalan rekonsiliasi demi mewujudkan perdamaian bangsa.
Dalam salinan draf Perpres yang diperoleh KontraS melalui sumber di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), draf tersebut terdiri dari sembilan bab dan 23 pasal.
Di dalamnya mengatur bagaimana kasus HAM bisa diselesaikan secara nonyudisial atau di luar proses hukum. Salah satunya yakni dengan membentuk unit kerja presiden yang berada di bawah naungan Menko Polhukam.
Unit kerja ini dibentuk sebelum pemerintah resmi membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan akan segera dibubarkan setelah tim tersebut terbentuk.
“Penanganan adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk pemulihan dan rekonsiliasi dalam rangka penyelesaian dampak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui mekanisme nonyudisial,” demikian bunyi Pasal 1 angka 4 draf Perpres itu.
Tim ini nantinya akan melakukan penanganan atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM sebagai mana tercantum dalam Pasal 3. Pelanggaran HAM yang dimaksud adalah pelanggaran HAM berat berdasarkan pada kesimpulan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Penanganan HAM yang dilakukan tim ini, seperti tercantum dalam Pasal 5 yakni dengan melalui mekanisme nonyudisial berupa upaya pemulihan dan rekonsiliasi yang dilakukan untuk mewujudkan perdamaian dan kesatuan bangsa.
“UKP-PPHB mempunyai tugas melaksanakan penanganan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui mekanisme non-yudisial dalam bentuk upaya pemulihan dan rekonsiliasi untuk mewujudkan perdamaian dan kesatuan bangsa,” demikian bunyi Pasal 5.
Meski begitu, rancangan draft yang disebut-sebut telah sampai di meja presiden itu tidak bisa diakses oleh publik. Sementara, pembahasannya disebut telah hampir rampung.
Direktur Instrumen Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Timbul Sinaga membenarkan bahwa rancangan Perpres tersebut tidak akan mengungkap pelaku pelanggaran HAM, tetapi hanya kejadian dan peristiwa.
“Terkait dengan beberapa pasal, saya lupa tetapi salah satu contohnya, tidak mengungkap pelaku, atau hanya kejadian dan di mana peristiwa terjadi,” ujarnya di Jakarta, Kamis (8/4/2021) lalu.
Sebelum draf Rancangan Perpres itu ditandatangani oleh Presiden, Timbul menyebut akan dibentuk lebih dahulu tim panitia seleksi (pansel). Pemerintah akan membuka ruang secara luas kepada publik.
Timbul sendiri mengakui bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, pada dasarnya melalui dua langkah, yakni secara yudisial dan non-yudisial. Untuk jalur yudisial, instansi yang paling berperan adalah Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung.
Adapun penyelesaian secara non-yudisial, Timbul menyebut pemerintah bisa melakukannya dengan cara pemulihan kepada korban, baik individual maupun komunal.
Hal itu akan dilakukan terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Contohnya, korban peristiwa Talangsari, Lampung.
Pemulihan yang akan dilakukan Pemerintah ini meliputi pemberian hak-hak dasar, bukan mengarah pada ganti rugi kepada korban maupun keluarga korban.
“Jadi, tidak bicara ganti rugi, saya kira lebih besar pemulihan daripada ganti rugi,” kata Timbul.
Sebagai contoh di Lampung, Pemerintah memberikan pemulihan di aspek pendidikan, kesehatan, wirausaha lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya. “Artinya, selama hidup kita berikan,” ujarnya.
Saat ini, kata Timbul, pemerintah mengklaim sedang mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di beberapa daerah. Untuk kasus pelanggaran HAM berat Talangsari, Provinsi Lampung, menurut dia, sedang diselesaikan.
Dan untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu, kata Timbul, negara tidak akan meminta maaf, tetapi pemerintah menyesali atas peristiwa yang terjadi dan menjamin hal serupa tidak kembali terulang.
Cuci tangan
KontraS menilai wacana rekonsiliasi dalam Rancangan Perpres tersebut merupakan bentuk pengampunan alias impunitas terhadap para pelanggar HAM berat masa lalu.
Wacana rekonsiliasi itu dimaknai KontraS sebagai bentuk ‘cuci tangan’ yang dilakukan beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM masa lalu yang saat ini menduduki jabatan publik yang strategis,” dikutip dari siaran pers KontraS.
“Selain itu wacana rekonsiliasi versi pemerintah ini juga berpotensi melanggengkan praktek impunitas karena tidak mengedepankan aspek akuntabilitas dan juga partisipasi keluarga korban,” lanjut KontraS.
Secara keseluruhan, Rancangan Perpres Tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Melalui Mekanisme Non-yudisial (Rancangan Perpres UKP-PPHB) ini kurang berprespektif pada korban. Tapi justru mencoreng rasa kemanusiaan dan keadilan.
“Korban memiliki hak atas kebenaran. Mereka berhak untuk tahu mengenai kebenaran di balik pelanggaran HAM yang sudah terjadi. Tetapi, kenyataannya melalui mekanisme non-yudisial ini pemerintah lebih mengutamakan rekonsiliasi daripada pengungkapan kebenaran,” ujar KontraS.
Sejumlah pejabat publik kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang disindir KontraS, seperti Wiranto dalam kasus Timor-Timur, Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis 1998, hingga Hendropriyono dalam kasus Talangsari.
Mereka sudah membantah keterlibatan dalam kasus-kasus tersebut. Sejauh ini pun, belum ada putusan pengadilan yang membenarkan keterlibatan mereka.
KontraS menilai pemerintah bisa menjadikan Rancangan Perpres UKP-PPHB ini sebagai bentuk legitimasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran masa lalu.
“Melalui Rancangan Perpres UKP-PPHB, Pemerintah berpotensi menjadikan aturan ini sebagai bentuk legitimasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran masa lalu. Pemerintah akan mengatakan pada publik bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu telah diselesaikan karena korban telah mendapat bantuan material,” ujarnya.
ARIEF RAHMAN MEDIA