Jenderal Min Aung Hlaing saat bersama Aung San Suu Kyi di Istana, Yangon, Myanmar. Keduanya yang tampak akrab, tak sangka jika sang jenderal kini melakukan kudeta pada sahabat karibnya dalam pemerintahannya.
YANGON, jurnal9.com – Setelah 3 hari terjadi kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing mengeluarkan maklumat alasan mengapa militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, karena untuk menjaga perpecahan antar kelompok masyarakat setelah terjadi sengketa Pemilu pada November 2020 lalu.
Militer Myanmar dalam pernyataan resminya yang dibacakan oleh Myawaddy Television (MWD), mengatakan status darurat ditetapkan untuk mencegah perpecahan antar kelompok masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 417 Konstitusi Negara 2018.
Menurut otoritas militer, pemerintah gagal menyelesaikan sengketa daftar pemilih pada pemilihan umum 8 November 2020 lalu. Sehingga terjadi sengketa berkepanjangan.
Selain itu Jenderal Min Aung Hlaing ingin mempertahankan posisinya di militer dan mengamankan jaringan usaha di tubuh militer yang melibatkan keluarga para petinggi, beserta mitra bisnisnya.
Karena alasan itu militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, dan menangkap Presiden Win Myint, politisi dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis pro demokrasi dan HAM di Myanmar.Senin (1/2/2021) pagi.
Sejauh ini, belum ada pengumuman resmi berapa jumlah orang yang ditangkap dan ditahan oleh militer, tetapi kemungkinan ada lebih dari 30 orang.
Tidak lama setelah kudeta, pihak militer Myanmar menetapkan status darurat yang berlaku selama satu tahun.
Selama status darurat berlaku, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing.
Sementara itu Ketua APHR Charles Santiago mengatakan klaim militer bahwa kudeta itu sah secara hukum, merupakan sesuatu yang keliru.
“Klaim bahwa kudeta dilakukan karena ada kecurangan pemilu merupakan narasi yang disampaikan ke masyarakat, dan itu merupakan tuduhan serta persepsi yang keliru,” kata Santiago kepada awak media seperti dikutip Antara.
Dia menjelaskan, militer sengaja melakukan kudeta karena mereka gagal menguasai mayoritas suara dalam pemilihan umum November 2020.
“Menurut saya, ini cara mereka memaksakan kekuasaannya di Myanmar,” ungkap Santiago.
Karena itu ia berpendapat pemimpin negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (Asean) harus berani mempertanyakan keabsahan kudeta di Myanmar.
Menurut Santiago, Asean yang tahun ini dipimpin oleh Brunei Darussalam, cukup keras merespon kudeta di Myanmar.
“Brunei, yang menjabat sebagai ketua Asean tahun ini, meminta otoritas di Myanmar untuk segera mengembalikan keadaan ke situasi normal sesuai dengan kehendak dan kepentingan rakyat Myanmar,” kata Santiago mengutip poin terakhir pernyataan Ketua Asean terkait situasi di Myanmar yang disampaikan Senin (1/2/2021) lalu.
Beberapa jam setelah berita kudeta menyebar luas, Sekretariat Asean lewat laman resminya menerbitkan pernyataan yang terdiri atas empat poin, di antaranya meminta otoritas di Myanmar mengikuti prinsip-prinsip dalam Piagam Asean, menciptakan stabilitas demi perdamaian, dan menggunakan dialog serta rekonsiliasi demi kembali ke situasi normal sesuai dengan kehendak rakyat Myanmar.
Beberapa aktivis demokrasi di Myanmar berpendapat, kudeta militer yang berlangsung Senin (1/2/2021) merupakan salah satu strategi Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing mempertahankan kekuasaannya sebelum ia pensiun pada Juli 2021.
“Jika Hlaing pensiun, maka kekuasaannya di militer dan pengaruhnya di pemerintahan akan berakhir. Jika tidak ada kudeta, maka anggota parlemen yang baru dan pemerintahan terpilih akan resmi menjabat, dan panglima militer yang paling berkuasa di Myanmar akan kehilangan kekuasaannya,” kata Khin Ohmar, seorang aktivis demokrasi dan HAM veteran di Myanmar.
ARIEF RAHMAN MEDIA