Ilustrasi tidur dekat hanphone usai lakukan chat
JAKARTA, jurnal9.com – Waduh..! Kemenag memperketat kategori baru yang dianggap sebagai tindakan kekerasan seksual. Ucapan rayuan yang berbau seksual, dianggap pelecehan seksual, meski disampaikan secara lelucon
Kasus tindak kekerasan seksual di tempat umum maupun lingkungan pendidikan agama, belakangan sering terjadi. Semua itu tak lepas dari pengaruh buruk dari pergaulan media sosial yang tak terkontrol.
Upaya untuk mencegah atau mengurangi tindak kekerasan seksual itu, Kemenag mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) dengan memperketat kategori baru yang dianggap sebagai tindakan kekerasan seksual.
Seperti menyampaikan ucapan rayuan berbau seksual tengah malam, “gimana belum tidur? Aku tak bisa tidur nih..pengen ngobrol. Aku sendirian di kamar, lalu mengajak melakukan video call atau ‘kencan’ lewat telepon.” Meski ucapan ini disampaikan secara lelucon, kategori ini dianggap termasuk bentuk kekerasan seksual.
Awas…lho, kalau sampai ketahuan melakukan ucapan rayuan berbau seksual seperti dialog di atas, anda akan dianggap melakukan tindak kekerasan seksual. Aturan ini sudah diberlakukan, setelah ditandatangani Menag 5 Oktober 2022 lalu.
Bukan itu saja. Memadangi wanita dengan nuansa seksual, sehingga membuat korbannya tak nyaman, ini termasuk bentuk kekerasan seksual.
Kategori baru ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 Tahun 2022 yang mulai diundangkan 6 Oktober 2022.
“Untuk membahas ketentuan kategori baru bentuk kekerasan seksual ini melalui proses diskusi yang panjang Apalagi ini tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan agama,” kata Juru Bicara (Jubir) Kemenag Anna Hasbie di Jakarta..
PMA ini, lanjut dia, mencakup jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, serta meliputi madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan lainnya.
“Bisa bentuk kekerasan seksual, berupa fisik, non fisik atau kekerasan secara verbal serta kekerasan melalui alat teknologi informasi dan komunikasi, seperti smartphone.
Di lingkungan perguruan tinggi ada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, namun sampai sekarang aturan yang ada masih dianggap kontroversi.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas memberi tanggapan soal adanya penolakan terhadap Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi tersebut.
“Memahami norma dalam Permendikbudristek itu tidak dapat dilepaskan dari konteks pencegahan dan penanganan kekerasan seksual,” tegas Yaqut..
Menag pun memberi penjelasan jika terjadi tindakan sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 2 huruf b Permendikbudristek 30/2021. Pasal ini menyatakan bahwa kekerasan seksual di antaranya meliputi memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban.
“Tindakan ini tidak masuk dalam kategori eksibisionisme dan bukan tindakan kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 ayat 2 huruf b jika terdapat persetujuan dari pihak lain. Tindakan ini bisa jadi seperti suatu pertunjukan seks,” ujarnya.
“Apakah Permendikbudristek yang normanya memuat consent (persetujuan) itu dapat ditafsirkan melegalkan striptease di dalam kampus? Penafsiran semacam itu tentu terasa aneh,” kata Yaqut mengenai adanya peneilaian kontroversi.
Padahal Permendikbudristek, kata Menag, bukan satu-satunya regulasi. Karena masih banyak lagi regulasi lain yang mengatur berbagai hal secara lebih spesifik. Ada berbagai ketentuan pidana di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
“Kita memiliki KUHP dan ketentuan pidana di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Juga segala macam kode etik, belum lagi norma yang hidup dalam masyarakat (living norma). Striptease, apalagi di dalam kampus, tentu sudah ada larangannya dalam norma hukum dan norma dalam masyarakat kita,” jelasnya.
GEMAYUDHA M