Jurnal9.com
Headline Inspiration

MK Tolak Uji Formil UU KPK, Ini Penjelasan Revisi dan Pasal-Pasal yang Lemahkan KPK

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) saat membacakan putusan tolak uji formil UU KPK di Gedung MK Jakarta.

JAKARTA, jurnal9.com – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya tolak uji formil Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang disampaikan Hakim Anwar Usman saat membacakan putusan ini secara virtual

“Menolak pokok permohonan untuk seluruhnya,” tegas Hakim Anwar Usman yang  didampingi delapan hakim lainnya di Gedung MK, Jakarta, pada Selasa, (4/5/2021).

Dalam membacakan putusannya, Hakim MK menyebut DPR sudah melibatkan masyarakat dalam bentuk diskusi soal revisi UU KPK. Diskusi-diskusi ini kebanyakan digelar pada 2017 lalu. Selain itu Hakim MK menyebut UU KPK juga sudah masuk prolegnas.

Namun dari semibilan hakim MK itu hanya satu Hakim MK Wahiduddin Abas yang mengajukan dissenting opinion. Dalam pendapatnya, Wahiduddin menilai pembahasan UU KPK ini relatif singkat. Sehingga ada ketidaksinkronan naskah akademik.

Karena itu, Wahiduddin Abas menyatakan gugatan formil Undang-Undang KPK itu seharusnya dikabulkan. Pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dari delapan hakim MK lainnya yang mengadili gugatan terhadap revisi UU KPK tersebut.

“Berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan di atas saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon,” kata Wahiduddin saat membacakan pandangannya dalam sidang putusan itu.

Hakim MK ini menyatakan proses revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK tersebut selain dilakukan dalam waktu singkat, juga secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.

“Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik,” kata Wahiduddin.

Melihat proses revisi dalam waktu singkat dan prosedur untuk momentum spesifik itu, seharusnya UU KPK dibatalkan. Karena jika dibentuk dengan prosedur yang lebih baik, diharapkan kelembagaan KPK akan menjadi lebih bagus ketimbang periode sebelumnya.

Penggugat

Uji formil Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) ini diajukan oleh 14 orang, tiga di antaranya adalah komisioner KPK periode 2015 – 2019; Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang. Perkara ini teregistrasi dengan nomor 79/PUU-XVII/2019.

Agus Rahardjo Cs [sebagai penggugat], dalam gugatannya menganggap penyusunan revisi UU KPK tidak sesuai rambu-rambu prosedural formil pembentukan undang-undang. Salah satunya penyusunan revisi UU KPK tersebut tidak sesuai dengan UU tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.

Penggugat menganggap penyusunan aturan ini cacat prosedural, karena tidak melalui proses perencanaan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Selain itu tidak melibatkan aspek partisipasi publik.

Gugatan terhadap revisi UU KPK yang dilayangkan Agus Rahardjo Cs ini terdapat beleid yang memuat sejumah poin krusial. Berikut ini pasal-pasal yang diduga bermasalah dan justru melemahkan KPK:

  1. Pasal pemeriksaan
Baca lagi  Gibran Temui Rocky Gerung: Sudah Tidak Ada Lagi Cebong atau Kampret

Dalam Pasal 46 UU KPK lama disebutkan bahwa pemeriksaan tersangka oleh KPK merujuk pada ketentuan UU KPK. Namun dalam UU baru, pasal itu diubah dan pemeriksaan tersangka merujuk pada ketentuan yang ada di kitab hukum acara pidana.

Menurut sejumlah pakar hukum pidana; perubahan itu menyebabkan UU KPK kehilangan status sebagai aturan yang berlaku khusus. Dampaknya, tindak pidana korupsi hukum acaranya sama dengan tindak pidana biasa.

  1. Kewenangan di tangan dewan pengawas

Dalam Pasal 21 ayat (4) dan (6) UU KPK yang lama, pimpinan KPK merupakan penanggung jawab tertinggi yang berwenang menerbitkan surat perintah penyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan, dan penangkapan.

Namun dalam UU baru, kewenangan pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi, penyidik, dan penuntut umum dihapus. Di UU yang baru, hampir semua kewenangan pimpinan KPK diambil alih oleh dewan pengawas.

  1. Pasal perihal kewenangan menggeledah

Merujuk Pasal 47 UU KPK yang baru, kewenangan menggeledah dan menyita harus melalui izin dewan pengawas. Pasal 12B mengatur penyadapan juga harus melalui izin tertulis dewan pengawas. Jangka waktu penyadapan dibatasi hanya selama 1×6 bulan dan dapat diperpanjang 1×6 bulan.

  1. Pasal tentang penyelidik KPK

Pasal 43 UU KPK baru mengatur penyelidik KPK dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK. Namun Pasal 43A menyebutkan penyelidik tersebut harus lulus pendidikan di tingkat penyelidikan. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, pembinaan terhadap penyelidik dan penyidik pegawai negeri sipil berada di bawah naungan kepolisian.

  1. Pasal soal status kepegawaian

Pasal 24 UU KPK yang baru menetapkan status kepegawaian lembaga harus aparatur sipil negara (ASN). Hal ini dinilai akan mengganggu independensi pegawai KPK dan mendegradasi lembaga independen menjadi lembaga di bawah pemerintah. Sebab pegawai negeri atau ASN berada di bawah garis komando subordinasi pemerintah.

  1. Pasal tentang dewan pengawas

Keberadaan dewan pengawas dinilai akan mendominasi dan mengganggu independensi KPK. Wewenang dewan pengawas juga bukan cuma mengawasi dan mengevaluasi, tetapi masuk dalam keseharian teknis penanganan perkara. Peran dewan pengawas ini tertuang dalam Pasal 37B. Keberadaan dewan pengawas ini dinilai merupakan bentuk pemborosan dan bisa menjadi alat intervensi.

  1. Pasal tentang kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan

UU KPK yang baru mengatur kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila penyidikan dan penuntutan suatu perkara tak selesai dalam jangka waktu 2 tahun. Aturan ini ada di Pasal 40 UU KPK hasil revisi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana menilai aturan ini diskriminatif dengan UU Kepolisian dan Kejaksaan. UU Kepolisian, misalnya, tak mengatur batas waktu tertentu dalam penghentian penyidikan. Pembatasan hanya berdasarkan kedaluwarsa perkara sesuai dengan ancaman hukuman.

ARIEF RAHMAN MEDIA

Related posts

Rakyat Sudah Cerdas, Tak Mau Pilih Capres yang Bisa Diatur Seperti Boneka

adminJ9

Polisi Tak Salah Tangkap, Pegi yang Ditangkap Benar Adalah Pelaku Pembunuh Vina Cirebon

adminJ9

Pesta Raffi Ahmad Cs yang Berkerumun dan Tanpa Masker, Menurut Polisi Tak Ada Pelanggaran

adminJ9