Sri Mulyani ungkap; para menteri dan pimpinan lembaga negara sangat berhati-hati dalam penggunaan anggaran, karena merasa khawatir dan takut melanggar hukum. Inilah yang memicu kemarahan Presiden.
JAKARTA, jurnal9.com – Publik dihebohkan dengan video pidato Presiden Joko Widodo pada Rapat Paripurna Kabinet (18/6) yang tampak marah kepada para menteri dan pemimpin lembaga negara dengan alasan kecewa melihat rendahnya penyerapan alokasi anggaran covid-19.
Saking jengkelnya presiden sampai menyebutkan para menteri dan pemimpin lembaga negara lainnya dianggap seperti tidak punya perasaan menyikapi situasi ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat dampak pandemi corona. Anggaran yang sudah dialokasikan sebesar Rp 75 triliun, ternyata baru digunakan 1,53 persen.
Wartawan senior yang pernah jadi menteri BUMN, Dahlan Iskan menilai pantas jika Presiden Jokowi kecewa. Karena negara sekarang ini dalam situasi yang gawat, extraordinary dan tidak normal.
Sampai Jokowi dengan keras dan tegas mengatakan negara sangat berbahaya jika para menteri dan pemimpin lembaga negara beranggapan situasi biasa-biasa saja, dan takut terjebak pada peraturan.
“Saya harus ngomong apa adanya, tidak ada progres yang signifikan. Tidak ada !,” pernyataan tersebut disampaikan Jokowi dalam menilai para menteri dan pimpinan lembaga negara yang gagal menangani masalah penyebaran virus corona yang makin meluas.
Kemarahan presiden itu disampaikan dari podium. Lalu meluncur deras kalimat arahan dengan nada tinggi. Arahan presiden itu berharap para menteri dan bawahannya harus bekerja extraordinary dan kreatif dalam mengatasi persoalan ekonomi yang buruk akibat pandemi corona,
Tapi kenyataannya, menurut Dahlan, para bawahan takut dengan peraturan yang bisa menggiring mereka ke penjara. Padahal presiden sendiri tidak main-main. Presiden mempertaruhkan reputasi politiknya untuk rakyat dan negara dalam menghadapi badai virus corona yang masih memprihatinkan. Sehingga kepala negara mengancam akan melakukan reshuffle jika tidak ada kemajuan.
Kalau menghitung alokasi anggaran sebesar Rp 75 triliun, lantas baru digunakan 1,53 persen. Kalau angka 1 persen itu benar, ya.. memang keterlaluan. Berarti program kerja menteri dan pemimpin lembaga negara itu tidak jalan. Padahal sekarang ini sudah bulan Juli. Kenapa tidak jalan, dan alasan apa?,” katanya.
Padahal, menurut mantan Menteri BUMN Pemerintahan SBY ini, kondisi seperti sekarang ini semua anggaran harus ditenderkan. Anggaran tahun ini berlaku mulai 1 Januari lalu. Berarti Februari baru diadakan tender. Berarti persiapan tendernya satu bulan. Itu sudah cepat. Jangan-jangan tendernya justru baru dimulai bulan Maret.”
“Proses tender bisa terhambat. Kalau pun tidak terhambat proses tender itu tidak mungkin selesai dalam dua bulan. Maka kalau sampai akhir Juni anggaran baru terserap 1 persen, kemungkinan besar tersangkut di masalah tender yang belum selesai.”
“Jangan-jangan para pemenang tender pun belum ada,” kata Dahlan.
“Saya tahu kian tahun tender elektronik kian maju. Mestinya pelaksanaan tender bisa lebih cepat,” katanya.
Analisis berikutnya soal bawahan menteri, yakni direktur jenderal (dirjen, eselon 1) dan bawahannya, yakni direktur (eselon 2) di setiap kementerian/lembaga.
“Pelajaran lain: menko boleh hebat, menteri boleh hebat, tapi pelaksana pemerintahan yang sesungguhnya adalah para dirjen di kementerian. Dirjen berdasarkan pengalaman saya, kadang terlalu sibuk dengan urusan politik atasannya. Sehingga pelaksana kebijakan yang sebenarnya adalah para direktur di kementerian,” jelas Dahlan.
“Bahkan jangan-jangan para direktur pun hanya sibuk melayani dirjen dan menteri mereka.”
“Maka pelaksana yang lebih sesungguhnya lagi adalah para pejabat yang levelnya di bawah direktur. Jadi negara ini bisa berjalan atau tidak sebenarnya di tangan mereka itu. Itulah yang disebut birokrasi. Ya.. seperti itu,” kata Dahlan dalam tulisan blog-nya.
Dahlan Iskan, mantan wartawan senior dan Menteri BUMN pada pemerintahan Soesilo Bambang Yodoyono
Di mata Sri Mulyani; kalau melihat semua menteri dan pemimpin lembaga negara merasa khawatir dalam penggunaan anggaran. Mereka terkesan memperlambat pencairan anggaran.
Pencairan anggaran, kata Sri Mulyani, tidak langsung ditransfer ke kementerian dan lembaga. Semua berdasarkan dokumen anggaran. Karena itu, ada istilah treasury single account dan treasury management.
“Berapa pun akan keluar dan sudah ada bukti pencairannya, kita akan transfer,” ungkap Sri Mulyani dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR, Senin (29/6) lalu.
Sri Mulyani menegaskan tidak ada alasan bahwa pemerintah tidak ada uang sama sekali, karena semua sudah dijamin (aman) ketika Perpres 54/2020 ditetapkan. Pengamanan itu termasuk tambahan anggaran kesehatan Rp 75 triliun.
Kekhawatiran itu sebenarnya sudah dirasakan Menteri Keuangan. Karena itu Presiden Jokowi mengundang Jaksa Agung, BPK, Kepolisian hingga KPK untuk hadir dalam setiap rapat yang membahas alokasi anggaran tersebut.
“Karena like it or not, everybody itu khawatir banget nanti,” ujar Menkeu.
Meskipun presiden menjamin, kata Menkeu Sri Mulyani, tetapi di kementerian ada aturan yang tetap harus diikuti. “Di level menteri ke bawah makin khawatir, sehingga kemudian mereka tidak membuat terobosan.”
Padahal saat krisis, presiden ingin semua perangkat pemerintah melakukan langkah-langkah luar biasa. Menurut Sri Mulyani, Presiden Jokowi ingin kementerian dan lembaga (K/L) yang terkait untuk merasakan ‘sense of crisis’
“Kalau semuanya khawatir masalah risiko moral hazard terus, ya kita berhenti aja karena takut untuk berbuat,” kata Menkeu mengingatkan para menteri dan pemimpin lembaga negara lainnya.
Menteri Keuangan menegaskan, presiden siap mengakomodir jika kementerian dan lembaga perlu landasan hukum selain Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2020
“Yang penting, kita semua bertanggung jawab kepada rakyat 260 juta rakyat Indonesia,” lanjutnya.
Sri Mulyani mengakui Perppu tidak bisa mencakup semuanya dalam merealisasikan penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. Pemerintah harus tetap menggulirkan kebijakan dengan mengacu kepada undang-undang yang ada.
Salah satu contoh PMK 70/2020 yang mengatur soal penempatan dana pemerintah di instansi pelat merah. Kebijakan ini merupakan jembatan saat pemerintah menilai ulang pelaksanaan PMK.64/2020, terutama yang terkait dengan prosedur pelaksanaan kebijakan bank jangkar tersebut.
“Kemungkinan bapak Menko perlu melakukan revisi PP No.23 terkait PEN agar lebih mudah mengakselerasi sesuai dengan tujuan pemulihan ekonomi,” kata Sri Mulyani.
ARIEF RAHMAN MEDIA