Ahyudin, pendiri Yayasan ACT
JAKARTA, jurnal9.com – Ketika awal Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri dana umat yang dihimpun Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), pihak Ahyudin sebagai pendiri dan presiden direktur langsung mengelak adanya dana yang diselewengkan para pengurusnya.
“Gini-gini saya juga ustadz. Saya mengerti soal hukum dan agama. Jadi tak mungkinlah kami dengan pengurus lainnya menilep uang dari dana umat yang dihimpun ACT,” ungkap Ahyudin membantahnya.
Padahal PPATK telah mengendus adanya dana umat yang dihimpun ACT itu mengalir untuk kepentingan pribadi dan kegiatan terorisme. Temuan itu telah dilaporkan ke BNPT dan Densus 88 Antiteror Polri.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengaku aliran dana umat yang dihimpun ACT digunakan untuk kepentingan pribadi: investasi di perusahaan milik pendiri ACT, Ahyudin. “Tepatnya Ahyudin mendirikan perusahaan dengan menggunakan dana umat ini,” tegasnya.
Selain itu Ahyudin sebagai pendiri Yayasan ACT juga mengeluarkan gaji untuk dirinya sendiri mencapai Rp 400 juta per bulan. Lalu Ibnu Khajar sebagai pengganti Ahyudi menjabat Presdir ACT sejak awal 2022 digaji Rp 150 juta per bulan.
Untuk senior Vice President yang dijabat Hariyana Herman digaji Rp 100 juta per bulan, dan Ketua Pembina Yayasan, Novariadi Imam Akbar digaji Rp 50 juta per bulan.
Selain itu dana yang dihimpun ACT ini juga mengalir ke kelompok teroris Alqaida.
“Dugaan itu berdasarkan hasil kajian dan database PPATK,” kata Ivan.
Dari penelusuran PPATK, tercatat ada ratusan miliar transaksi dari dan keluar Indonesia yang dilakukan ACT. Sebanyak Rp 52,9 miliar di antaranya mengalir ke luar negeri. Sedangkan dana masuk dari luar negeri sebanyak Rp 64,9 miliar.
“Berdasarkan data transaksi dari dan ke Indonesia periode 2014 sampai dengan Juli 2022 yang dihimpun ACT, dana dari luar negeri sebesar total Rp 64.946.453.924, dan dana keluar dari Indonesia sebesar total Rp 52.947.467.313,” jelas dia.
Selepas melakukan gelar perkara, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menyatakan ada 4 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan dana umat di ACT.
“Pada pukul 15.50 WIB ada 4 pengurus ACT ditetapkan sebagai tersangka,” kata Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Helfi Assegaf di Mabes Polri, Jakarta, Senin (25/7/2022)
Empat tersangka tersebut adalah Ahyudin, mantan Presiden Direktur ACT masa 2005-2019 yang juga sebagai pendiri Yayasan ACT, serta Presiden ACT yang menjabat saat ini, Ibnu Khajar. Kemudian pengurus ACT, Hariyana Hermain (HH) dan sekretaris ACT periode 2009 sampai 2019 yang saat ini sebagai Ketua Dewan Pembina ACT, Novariadi Imam Akbari (NIA), turut ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Helfi Assegaf, 4 tersangka dikenakan pasal berlapis, yaitu pasal tindak pidana penggelapan dan/atau penggelapan dalam jabatan dan/atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan/atau tindak pidana yayasan dan/atau tindak pidana pencucian uang.
Helfi menjelaskan, keempat tersangka dikenakan Pasal 372 KUHP dan atau Pasal 374 KUHP dan atau Pasal 45A Ayat (1) jo. Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pasal 372 KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp. 900.”
Sedangkan Pasal 374 KUHP berbunyi: “Penggelapan yang dilakukan terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Penyidik juga menjerat dengan Pasal 45A Ayat (1) jo. Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Bunyi Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Kemudian Pasal 45 ayat 1 UU ITE berbunyi: “Setiap orang yang memenuhi unsur yang dimaksud dalam pasal 27 ayat 1 atau ayat 2 dan ayat 3 maka dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.”
Keempat tersangka juga dijerat dengan sangkaan Subsider, yakni Pasal 70 Ayat (1) dan Ayat (2) jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Bunyi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah UU 28 Tahun 2004 adalah: “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.”
Sedangkan dalam Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah UU 28 Tahun 2004 berbunyi: “Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.”
Keempat tersangka juga dikenakan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 KUHP jo. Pasal 56 KUHP.
Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 adalah : “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Sedangkan bunyi Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 adalah: “Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Kemudian Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Belum ditahan
Sementara itu 4 orang yang ditetapkan jadi tersangka, tidak langsung ditahan. Karena penyidik Bareskrim masih akan melakukan kegiatan gelar perkara untuk penentuan soal penahanan.
“Sementara kita masih akan melakukan diskusi internal terkait masalah penangkapan maupun penahanan,” ujarnya.
ARIEF RAHMAN MEDIA