Singapura sebagai negara dengan ketahanan pangan terbaik di dunia, ternyata memiliki lahan yang terbatas, karena sebagian besar digunakan untuk bangunan
JAKARTA, jurnal9.com – Kepala Pusat Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amarta menyarankan Indonesia bisa belajar mengenai ketahanan pangan dari Singapura. Sebab negara kepulauan ini berada di posisi teratas dalam Global Food Security Index versi The Economist.
“Ketahanan pangan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kemampuan produksi dalam negeri. Kalau melihat Singapura sebagai negara dengan ketahanan pangan terbaik di dunia, ternyata memiliki lahan yang terbatas, karena sebagian besar digunakan untuk bangunan,” kata Felippa dalam siaran pers, Senin (26/10).
Tapi kok bisa Singapura menjadi negara dengan ketahanan terbaik di dunia? Menurut Felippa, karena Singapura terbuka terhadap pasar global dan melakukan diversifikasi untuk kebutuhan pangannya dari banyak negara.
Negara dengan kebijakan pangan yang terbuka itu cenderung lebih memiliki ketahanan pangan yang lebih baik.
Dia mengingatkan bahwa berdasarkan Global Food Security Index yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di peringkat 62 dari 113 negara dalam Global Food Security Index.
Ini menjadi gambaran bahwa masih banyak rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap pangan bergizi dengan harga terjangkau.
Untuk itu, menurut Felippa, Indonesia harus belajar dari Singapura yang dinilai perlu adanya fleksibilitas kebijakan dalam proses melakukan impor.
“Importir pangan kerap dihadapkan pada proses birokrasi yang berkepanjangan sehingga rentan untuk bisa cepat beradaptasi dengan tingginya harga pangan,” ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, impor pangan sering dianggap negatif oleh kebanyakan masyarakat Indonesia karena sudah sejak lama, masyarakat Indonesia mendapatkan pemahaman bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan luas yang subur.
Karena hal tersebut membuat masyarakat heran kalau Indonesia mengimpor kebutuhan pangan. Padahal impor pangan tidak selalu buruk karena Indonesia memang membutuhkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
“Di saat yang bersamaan, swasembada pangan juga tidak selalu membawa dampak positif untuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan proteksionis yang pada akhirnya merugikan kepentingan Indonesia,” katanya.
RAFIKI ANUGERAHA M