Jurnal9.com
Headline Kolom Abror

Gibran Rakabuming, Si Ande Ande Lumut

KOLOM ABROR

Baru sebulan dilantik jadi walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo sudah kebanjiran lamaran. Ibarat perjaka, Gibran seperti Ande Ande Lumut yang sedang “ngunggah-unggahi” menunggu pinangan gadis-gadis cantik untuk dipersuntingnya.

Dalam sebulan ini mungkin Gibran sudah bisa didaftarkan ke Muri (Museum Rekor Indonesia) untuk mendapat sertifikat rekor sebagai walikota yang paling banyak mendapat kunjungan ketua parpol, plus menteri dan pejabat tinggi lainnya. Paling tidak sudah ada dua ketua umum dan satu wakil ketua umum parpol yang menghadap ke Gibran.

Bukan sekadar menghadap, tapi parpol-parpol itu melamar Gibran untuk menjadi calon gubernur DKI. Yang paling duluan menghadap adalah PAN (Partai Amanat Nasional) disusul PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), lalu kemudian Partai Gelora menyusul. Tidak sekadar sowan, Zulkifli Hasan ketua umum PAN, Muhaimin Iskandar ketua umum PKB, langsung menawarkan tiket gratis kepada Gibran untuk maju pada pilgub DKI nanti.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah yang sowan belakangan tidak secara terang-terangan menawari tiket gratis. Tapi melihat gelagatnya hampir pasti Partai Gelora akan mengekor PAN dan PKB. Apalagi Partai Gelora juga termasuk gerbong pendukung Gibran di pilkada Solo.

PAN dan PKB masuk kelompok partai duafa di DKI dengan masing-masing punya sembilan dan lima kursi. PKB malah jadi jurukunci bersama PPP yang punya satu kursi. Tapi, seperti halnya pada pilkada Solo, pada pilgub DKI nanti gerbong parpol pendukung Gibran diperkirakan juga akan sama panjang. Pelaksanaan pilgub serentak, yang kemungkinan diundur sampai 2024, bisa jadi, bagian dari skenario memboyong Gibran ke DKI.

Tentu Gibran ini istimewa. Sebagai pangeran ia cukup duduk manis ongkang-ongkang sambil ngunggah-unggahi menunggu lamaran dari raja-raja di sekitarnya. Calon-calon kepala daerah lain harus sowan, sungkem, menyembah-nyembah, dan menyodorkan upeti supaya dapat tiket pilkada. Tapi tidak bagi Gibran. Dia adalah Pangeran Ande Ande Lumut, putra raja besar nan tampan dan kaya raya. Para raja sekitar berebut menyodorkan putri-putrinya supaya bisa menjadi pasangan sang pangeran. Gadis-gadis kemayu Klenting Hijau dan Klenting Biru dengan dandanan menor sudah datang menawarkan diri. Gadis-gadis lain akan mengantre menyusul Klenting Biru dan Klenting Hijau.

Sejak anak mbarep Gibran dan menantu Bobby Nasution maju dalam perhelatan pilkada sudah muncul tudingan politik dinasti kepada Jokowi. Kali ini pun tudingan yang sama muncul lagi. Tapi, siapapun, dimanapun, dari dulu sampai sekarang sama saja. Nepotisme dan favoritisme kepada anak kandung selalu menjadi bagian naluri manusia. Orang Jawa menyebut “wingka katon kencana”, kue jenang terlihat seperti emas, apapun keadaannya anak kandung terlihat seperti emas di mata bapaknya.

Presiden Sukarno tidak mendesain anak-anaknya untuk menjadi penerus dinasti politik. Tapi pulung politik Sukarno kemudian jatuh ke tangan Megawati. Sekarang Mega menyiapkan anak-anaknya, Puan Maharani dan Prananda Prabowo sebagai penerus dinastinya.

Suharto juga tidak mendesain anak-anaknya untuk menjadi penerus takhta, atau mungkin Pak Harto terlambat menyiapkan dinasti. Dua anak laki-lakinya, Sigit dan Tommy lebih sibuk berbisnis. Baru belakangan di periode terakhir Pak Harto menunjuk Mbak Tutut sebagai menteri sosial, itu pun bukan jabatan strategis untuk bisa menjadi presiden. Pak Harto jatuh dan dinastinya runtuh. Tommy yang belakangan ingin menghidupkan dinasti Suharto tidak cukup mewarisi kesaktian politik bapaknya, karena dia tidak dipersiapkan sebagai pewaris. Tommy Si Pangeran Cendana tidak mendapatkan pendidikan politik dari bapaknya. Sang pangeran lebih sibuk balapan kuda sambil dikelilingi putri-putri ayu keraton daripada belajar ilmu kanoragan dan pemerintahan.

Baca lagi  Misi Jokowi Damaikan Konflik Rusia-Ukraina Sulit Terwujud, Ini Penyebabnya

B.J Habibie sangat pendek masa jabatannya. Gus Dur juga terlalu pendek kekuasaannya untuk bisa menyiapkan anak-anaknya sebagai penerus meskipun ada anak-anaknya yang cukup punya bakat politik. Megawati mempunyai desain untuk membangun dinasti politik. Masa kepresidenannya nanggung hanya tiga tahun dan kemudian dipatahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggapnya menelikung dari samping. Mega menyimpan dendam sampai sekarang. Kebetulan dua orang ini sama-sama punya kecenderungan berdinasti.

Persaingan politik pribadi antara Mega vs SBY akan berlanjut kepada anak-anaknya. SBY dengan teliti dan hati-hati menyiapkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai penerus dinastinya. Mega dengan sabar mempersiapkan Puan Maharani untuk melanjutkan dinastinya, sekaligus menuntaskan ambisi kepresidenannya yang terputus. Sebagaimana perang Mega vs SBY, perang AHY vs Puan akan berlangsung sengit. Selama kedua orang tuanya masih hidup dua anak muda itu sulit direkonsiliasikan karena dendam politik sengaja diwariskan.

Sekarang ini Prabu SBY sedang galau karena Keraton Cikeas gonjang-ganjing terkena prahara kudeta politik oleh para patih, para menteri, dan hulubalang yang membelot. SBY dianggap bukan pendiri Partai Demokrat, tapi kemudian ia dituduh menjadikannya sebagai partai keluarga. Dari Keraton Cikeas Prabu Yudhoyono memimpin langsung perang untuk mempertahankan marwah politik dan keluarga. SBY sudah makin uzur dan anak-anaknya belum cukup matang untuk dilepas sendirian di palagan. Medan yang dihadapi SBY dalam perang ini sangat berat, butuh keahlian strategi ilmu perang level tinggi, butuh stamina yang prima, dan logistik yang besar. Tanpa itu sulit Kraton Cikeas sulit untuk bisa menang perang.

Politik dinasti mungkin bisa jalan lumayan mulus di level daerah. Tidak terhitung berapa kepala daerah yang bisa mewariskan kekuasaannya kepada istri maupun anak. Tapi, di level nasional belum pernah ada kisah sukses politik dinasti.

Presiden Jokowi dan Ibu Iriana Jokowi bersama Gibran Rakabuming dan istrinya Selvi Ananda yang kini menjadi Walikota Solo, dan sang menantu Bobby Nasution dan istrinya Kahiyang Ayu menjadi Walikota Medan

Seperti halnya para presiden pendahulunya, Jokowi juga ingin membangun dinasti untuk meneruskan kekuasaan sekaligus memberi perlidungan politik baginya setelah lengser keprabon. Pada level pilkada di daerah skenario Jokowi berjalan lancar dengan terpilihnya Gibran dan Bobby secara mulus.

Membawa Gibran ke Solo cukup mudah. Tapi membawa Gibran ke DKI, apalagi ke level nasional, pasti tidak mudah karena palagannya keras dan lawan-lawannya kelas berat. Jalan tikus yang dilewati Jokowi dalam karir politiknya tidak bakal bisa ditapak-tilasi oleh siapapun, termasuk Gibran. Sebutlah itu sebagai kecelakaan sejarah, atau keajaiban sejarah, jalan politik tidak akan pernah sama dari masa ke masa.

Ilmu genetika sekarang sudah super canggih. Orang tua bisa mendesain anaknya menjadi superman dan superwoman. Penyakit mematikan bisa dideteksi sejak dini dan otak ber-IQ Habibie atau Einstein bisa didesain sebelum lahir. Mungkin nanti para ahli genetika juga bisa mendesain seorang anak untuk menjadi politisi jenius. Tapi secanggih apapun politik tetaplah arena adu pukul yang keras seperti tinju tarung bebas.

Ibarat petinju, Pangeran Gibran sekarang baru ada di kelas nyamuk. Memaksakannya naik ke kelas berat akan mengakibatkan Sang Pangeran bonyok-bonyok dan bisa KO di ronde pertama. **

Related posts

Overthinking Ganggu Kesehatan Mental dan Turunkan Performa Kerja

adminJ9

Pesawat Ruang Angkasa ESA Memotret Matahari dari Jarak Dekat

adminJ9

Amaq Bunuh Begal untuk Bela Diri, Malah Jadi Tersangka, Ini Kata Ahli Hukum Pidana

adminJ9